A. Latar belakang
Metodologi Pengembangan moral, agama, dan disiplin pada anak usia dini. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia karangan W.J.S. Poerwadarminta
edisi III (2007: 275) pendekatan memiliki arti hal (perbuatan, usaha) mendekati
atau mendekaAUDan. Sedangkan menurut kamus bahasa Inggris arti pendekatan
adalah jalan untuk melakukan sesuatu (John M. Echols, 2002: 35). Dari dua arti
tersebut dapat dipahami bahwa pendekatan setidaknya mengandung unsur sebagai
suatu kegiatan yang meliputi: proses perjalanan waktu, upaya untuk mencapai
sesuatu, dan dapat pula memiliki ciri sebagai sebuah jalan untuk melakukan
sesuatu. Terkait dengan hal tersebut di atas, tepat kiranya sebagai pendidik
ataupun orang tua memahami bahwa untuk menyampaikan sesuatu pesan pendidikan
diperlukan pemahaman tentang bagaimana agar pesan itu dapat sampai dengan baik
dan diterima dengan sempurna oleh anak didik.
Untuk mencapai ketersampaian pesan kepada anak didik tentunya
seorang pendidik atau orang tua harus memiliki atau pun memilih desain
untuk menggunakan pendekatan yang sesuai dengan pola pikir dan
perkembangan psikologi anak. Ketepatan atau kesesuaian memilih pendekatan akan
berpengaruh terhadap keberhasilan dalam penanaman nilai moral untuk anak usia
dini.
B. Rumusan masalah
Bagaimana metode pengembangan moral anak?
Bagaimana metode pengembangan moral agama anak?
C. Tujuan
1. Agar guru dapat mendesain
kesesuaian pendekatan permbelajaran nilai moral agama dengan tingkat
perkembangan kebutuhan anak
2. Agar pendekatan yang
didesain mengacu pada kurikulum
3. Pendekatan yang didesain
berorientasi pada anak
4. Pendekatan yang didesain
dapat digunakan dengan langkah-langkah yang standar
5. Pendekatan yang didesain
bisa digunakan dalam kegiatan yang mengacu pada tujuan dan hasil belajar yang
nyata
6. Agar guru mengetahui
beberapa instrument penilaian untuk pengembangan nilai-nilai keagamaan AUD
PEMBAHASAN
Menurut Kamus
Umum Bahasa Indonesia karangan W.J.S. Poerwadarminta edisi III (2007: 275)
pendekatan memiliki arti hal (perbuatan, usaha) mendekati atau mendekaAUDan.
Sedangkan menurut kamus bahasa Inggris arti pendekatan adalah jalan untuk
melakukan sesuatu (John M. Echols, 2002: 35). Dari dua arti tersebut dapat
dipahami bahwa pendekatan setidaknya mengandung unsur sebagai suatu kegiatan
yang meliputi: proses perjalanan waktu, upaya untuk mencapai sesuatu, dan dapat
pula memiliki ciri sebagai sebuah jalan untuk melakukan sesuatu. Terkait dengan
hal tersebut di atas, tepat kiranya sebagai pendidik ataupun orang tua memahami
bahwa untuk menyampaikan sesuatu pesan pendidikan diperlukan pemahaman tentang
bagaimana agar pesan itu dapat sampai dengan baik dan diterima dengan sempurna
oleh anak didik.
Untuk mencapai
ketersampaian pesan kepada anak didik tentunya seorang pendidik atau orang tua
harus memiliki atau pun memilih desain untuk menggunakan pendekatan yang
sesuai dengan pola pikir dan perkembangan psikologi anak. Ketepatan atau
kesesuaian memilih pendekatan akan berpengaruh terhadap keberhasilan dalam
penanaman nilai moral untuk anak usia dini.
Sementara metode memiliki sedikit arti yang berbeda dengan
pendekatan. Metode secara etimologi berasal dari bahasa Yunani metha dan hodos.
Metha berarti di balik atau di belakang, sedangkan hodos berarti jalan. Jadi
methahodos berarti disebalik jalan (Dwi Siswoyo dkk, 2005 : 82). Untuk saat ini
metode diartikan sebagai tata cara. Pendekatan lebih menekankan pada proses
berjalannya upaya untuk menyampaikan sesuatu, maka metode memiliki makna
sebagai suatu cara kerja yang bersistem, yang memudahkan pelaksanaan suatu
kegiatan guna mencapai tujuan yang telah ditentukan. Substansi perbedaan dari
kedua istilah tersebut sangat tipis, yaitu hanya terletak pada cara kerjanya
yang bersistem, yang berarti bahwa upaya itu merupakan suatu rangkaian yang
teratur dan telah diperhitungkan serta teruji kehandalannya (Otib S. Hidayat,
2006: 4.5).
Pemilihan metode dan pendekatan yang dilakukan pendidik atau guru
semestinya dilandasi alasan yang kuat dan faktor-faktor pendukungnya seperti
karakteristik tujuan kegiatan dan karakteristik anak yang diajar. Karakteristik
tujuan adalah pengambangan kognitif, pengembangan kreativitas, pengembangan
bahasa, pengembangan emosi, pengembangan motorik, dan pengembangan nilai serta
pengembangan sikap dan perilaku. Untuk mengembangkan nilai dan sikap anak dapat
dipergunakan metode-metode yang memungkinkan terbentuknya kebiasaan-kebiasaan
yang didasari oleh nilai-nilai agama dan moralitas agar anak dapat menjalani
kehidupan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat.Selain penentuan
pendekatan berdasarkan tujuan kegiatan, karakteristik anak juga ikut menentukan
metode yang digunakan dalam penanaman nilai moral.
Anak usia dini merupakan anak yang memiliki karakteristik suka
bergerak (tidak suka diam), mempunyai rasa ingin tahu (curiosity) yang tinggi,
senang bereksperimen dan menguji, mampu mengekspresikan diri secara kreatif,
mempunyai imajinasi, dan senang berbicara. Anak memerlukan dan menuntut untuk
bergerak yang melibatkan AUD mengkoordinasikan otot kasar. Anak juga memerlukan
kesempatan untuk menggunakan tenaga sepenuhnya saat melakukan kegiatan. Oleh
karena itu diperlukan ruang yang luas serta sarana dan prasarana (peralatan)
yang memadai. Setiap guru akan menggunakan metode sesuai dengan gaya
melaksanakan kegiatan. Tetapi yang harus diingat bahwa Taman Kanak-kanak
memiliki cara yang khas. Oleh karena itu ada metode-metode yang lebih sesuai
bagi anak Taman Kanak-kanak dibandingkan dengan metode-metode lain. Misalnya
saja guru AUD jarang sekali yang menggunakan metode ceramah. Orang akan segera
menyadari bahwa metode ceramah tidak sesuai dan tidak banyak berarti apabila
diterapkan untuk anak AUD. Metode-metode yang memungkinkan anak dapat melakukan
hubungan atau sosialisasi dengan yang lain akan lebih sesuai dengan kebutuhan
dan minat anak. Melalui kedekatan hubungan guru dan anak, seorang guru akan
dapat mengembangkan kekuatan pendidik yang sangat penting (Moeslichatun, 1998:
7).Dalam pelaksanaan penanaman nilai moral pada anak usia dini banyak sekali
metode dan pendekatan yang dapat digunakan oleh guru atau pendidik. Namun
sebelum memilih dan menerapkan metode dan pendekatan yang ada perlu diketahui
bahwa guru atau pendidik harus memahami benar metode atau pendekatan yang akan
dipakai, karena ini akan berpengaruh terhadap optimal tidaknya keberhasilan
penanaman nilai moral tersebut. Metode dalam penanaman nilai moral kepada anak
usia dini sangatlah bervariasi, diantaranya bercerita, bernyanyi, bermain,
bersajak dan karya wisata.
a.
Kesesuain
dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan anak
Menurut Kohlberg
perkembangan moral anak usia prasekolah (PAUD) berada pada tingkatan yang
paling dasar yang dinamakan dengan penalaran moral prakonvensional. Pada
tingkatan ini anak belum menunjukkan internalisasi nilai-nilai moral (secara
kokoh). Namun sebagian anak usia PAUD ada yang sudah memiliki kepekaan atau
sensitivitas yang tinggi dalam merespon lingkungannya (positif dan negatif).
Misalkan ketika guru/orang tua mentradisikan atau membiasakan anak-anaknya
untuk berperilaku sopan seperti mencium tangan orang tua ketika berjabat
tangan, mengucapkan salam ketika akan berangkat dan pulang sekolah, dan
contoh-contoh positif lainnya maka dengan sendirinya perilaku seperti itu akan
terinternalisasi dalam diri anak sehingga menjadi suatu kebiasaan mereka
sehari-hari. Demikian pula sebaliknya kalau kebiasaan negatif itu dibiasakan
kepada anak maka perilaku negatif itu akan terinternalisasi pula dalam dirinya.
Dalam mengkaji perkembangan
moral anak usia pra sekolah, Kohlberg memposisikan mereka pada level yang
paling dasar, yaitu level 1 (moral prakonvensional). Pada tahap ini, anak
melihat suatu kegiatan dianggap salah atau benar berdasarkan hukuman dan
kepatuhan (punishment dan obedience orientation) serta individualisme
dan orientasi tujuan instrumental (individualism and instrumental purpose).
Pada tahap orientasi hukuman dan kepatuhan, suatu tindakan dinilai benar atau
salah tergantung pada akibat dari kegiatan tersebut. Suatu kegiatan yang
membuat ibu marah dianggap salah dan suatu kegiatan yang membuat ibu senang
dianggap baik atau benar.
b.
Mengacu pada kurikulum
c.
Berorientasi pada anak
Tingkat pra-konvensional
terdiri dari dua tahapan awal dalam perkembangan moral, dan murni melihat diri
dalam bentuk egosentris. Dalam Tingkat Pra konvensional ini terdapat dua
tahapan moral yaitu :
1. Orientasi kepatuhan dan
hukuman
Dalam tahap pertama,
individu-individu memfokuskan diri pada konsekuensi langsung dari tindakan
mereka yang dirasakan sendiri. Sebagai contoh, suatu tindakan dianggap salah
secara moral bila orang yang melakukannya dihukum. Semakin keras hukuman
diberikan dianggap semakin salah tindakan itu. Sebagai tambahan, ia tidak tahu
bahwa sudut pandang orang lain berbeda dari sudut pandang dirinya. Tahapan ini
bisa dilihat sebagai sejenis otoriterisme.
2. Orientasi minat pribadi
( Apa untungnya buat saya?)
Tahap dua menempati posisi
apa untungnya buat saya, perilaku yang benar didefinisikan dengan apa yang
paling diminatinya. Penalaran tahap dua kurang menunjukkan perhatian pada
kebutuhan orang lain, hanya sampai tahap bila kebutuhan itu juga berpengaruh
terhadap kebutuhannya sendiri, seperti “kamu garuk punggungku, dan akan kugaruk
juga punggungmu.” Dalam tahap dua perhatian kepada oranglain tidak didasari
oleh loyalitas atau faktor yang berifat intrinsik. Kekurangan perspektif
tentang masyarakat dalam tingkat pra-konvensional, berbeda dengan kontrak
sosial (tahap lima), sebab semua tindakan dilakukan untuk melayani kebutuhan
diri sendiri saja. Bagi mereka dari tahap dua, perpektif dunia dilihat sebagai
sesuatu yang bersifat relatif secara moral.
Tingkat Konvensional
Tingkat konvensional
umumnya ada pada seorang remaja atau orang dewasa. Orang di tahapan ini menilai
moralitas dari suatu tindakan dengan membandingkannya dengan pandangan dan
harapan masyarakat. Tingkat konvensional terdiri dari tahap ketiga dan keempat
dalam perkembangan moral yaitu :
3. Orientasi keserasian interpersonal dan konformitas (sikap anak baik)
Dalam tahap tiga, seseorang memasuki masyarakat dan memiliki peran sosial.
Individu mau menerima persetujuan atau ketidaksetujuan dari orang-orang lain
karena hal tersebut merefleksikan persetujuan masyarakat terhadap peran yang
dimilikinya. Mereka mencoba menjadi seorang anak baik untuk memenuhi harapan
tersebut, karena telah mengetahui ada gunanya melakukan hal tersebut. Penalaran
tahap tiga menilai moralitas dari suatu tindakan dengan mengevaluasi
konsekuensinya dalam bentuk hubungan interpersonal, yang mulai menyertakan hal
seperti rasa hormat, rasa terimakasih, dan golden rule. Keinginan untuk
mematuhi aturan dan otoritas ada hanya untuk membantu peran sosial yang
stereotip ini. Maksud dari suatu tindakan memainkan peran yang lebih signifikan
dalam penalaran di tahap ini; 'mereka bermaksud baik.
4. Orientasi otoritas dan
pemeliharaan aturan sosial ( Moralitas hukum dan aturan)
Dalam tahap empat, adalah penting untuk mematuhi hukum, keputusan, dan konvensi
sosial karena berguna dalam memelihara fungsi dari masyarakat. Penalaran moral
dalam tahap empat lebih dari sekedar kebutuhan akan penerimaan individual
seperti dalam tahap tiga; kebutuhan masyarakat harus melebihi kebutuhan
pribadi. Idealisme utama sering menentukan apa yang benar dan apa yang salah,
seperti dalam kasus fundamentalisme. Bila seseorang bisa melanggar hukum,
mungkin orang lain juga akan begitu - sehingga ada kewajiban atau tugas untuk
mematuhi hukum dan aturan. Bila seseorang melanggar hukum, maka secara ia salah
secara moral, sehingga celaan menjadi faktor yang signifikan dalam tahap ini
karena memisahkan yang buruk dari yang baik
.
Tingkat Pasca Konvensional
Tingkatan pasca
konvensional, juga dikenal sebagai tingkat berprinsip, terdiri dari tahap lima
dan enam dari perkembangan moral. Kenyataan bahwa individu-individu adalah
entitas yang terpisah dari masyarakat kini menjadi semakin jelas. Perspektif
seseorang harus dilihat sebelum perspektif masyarakat. Akibat hakekat diri
mendahului orang lain’ ini membuat tingkatan pasca-konvensional sering tertukar
dengan perilaku pra-konvensional.
Tingkat Pasca konvensional
terdiri dari tahap kelima dan keenam yaitu :
5. Orientasi kontrak social
Dalam tahap lima,
individu-individu dipandang sebagai memiliki pendapat-pendapat dan nilai-nilai
yang berbeda, dan adalah penting bahwa mereka dihormati dan dihargai tanpa
memihak. Permasalahan yang tidak dianggap sebagai relatif seperti kehidupan dan
pilihan jangan sampai ditahan atau dihambat. Kenyataannya, tidak ada pilihan
yang pasti benar atau absolut - 'memang anda siapa membuat keputusan kalau yang
lain tidak'? Sejalan dengan itu, hukum dilihat sebagai kontrak sosial dan
bukannya keputusan kaku. Aturan-aturan yang tidak mengakibatkan kesejahteraan
sosial harus diubah bila perlu demi terpenuhinya kebaikan terbanyak untuk
sebanyak-banyaknya orang. Hal tersebut diperoleh melalui keputusan mayoritas,
dan kompromi. Dalam hal ini, pemerintahan yang demokratis tampak berlandaskan
pada penalaran tahap lima.
6.
Prinsip etika universal (
Principled conscience)
Dalam tahap enam, penalaran
moral berdasar pada penalaran abstrak menggunakan prinsip etika universal.
Hukum hanya valid bila berdasar pada keadilan, dan komitmen terhadap keadilan
juga menyertakan keharusan untuk tidak mematuhi hukum yang tidak adil. Hak
tidak perlu sebagai kontrak sosial dan tidak penting untuk tindakan moral
deontis. Keputusan dihasilkan secara kategoris dalam cara yang absolut dan
bukannya secara hipotetis secara kondisional (lihat imperatif kategoris dari
Immanuel Kant). Hal ini bisa dilakukan dengan membayangkan apa yang akan
dilakukan seseorang saat menjadi orang lain, yang juga memikirkan apa yang
dilakukan bila berpikiran sama (lihat veil of ignorance dari John Rawls).
Tindakan yang diambil adalah hasil konsensus. Dengan cara ini, tindakan tidak
pernah menjadi cara tapi selalu menjadi hasil; seseorang bertindak karena hal
itu benar, dan bukan karena ada maksud pribadi, sesuai harapan, legal, atau
sudah disetujui sebelumnya.
d.
Langkah- langkah kegiatan
standar
e.
Kegiatan yang mengacu pada
tujuan dan hasil belajar yang nyata
1. Bercerita
Bercerita dapat dijadikan metode untuk menyampaikan nilai-nilai yang berlaku
dalam masyarakat (Otib Satibi Hidayat, 2005 : 4.12). Dalam cerita atau dongeng
dapat ditanamkan berbagai macam nilai moral, nilai agama, nilai sosial, nilai
budaya, dan sebagainya. Kita mungkin masih ingat pada masa kecil dulu tidak
segan-segannya orang tua selalu mengantarkan tidur anak-anaknya dengan cerita
atau dongeng.Tidaklah mudah untuk dapat menggunakan metode bercerita ini. Dalam
bercerita seorang guru harus menerapkan beberapa hal, agar apa yang dipesankan
dalam cerita itu dapat sampai kepada anak didik. Beberapa hal yang dapat
digunakan untuk memilih cerita dengan fokus moral, diantaranya:a. Pilih cerita
yang mengandung nilai baik dan buruk yang jelasb. Pastikan bahwa nilai baik dan
buruk itu berada pada batas jangkauan kehidupan anakc. Hindari cerita yang
“memeras” perasaan anak, menakut-nakuti secara fisik (Tadzkiroatun Musfiroh,
2005 : 27-28).Dalam bercerita seorang guru juga dapat menggunakan alat peraga
untuk mengatasi keterbatasan anak yang belum mampu berpikir secara abstrak.
Alat peraga yang dapat digunakan antara lain, boneka, tanaman, benda-benda
tiruan, dan lain-lain. Selain itu guru juga bisa memanfaaAUDan kemampuan olah
vokal yang dimiliknya untuk membuat cerita itu lebih hidup, sehingga lebih
menarik perhatian siswa. Adapun teknik-teknik bercerita yang dapat dilakukan
diantaranya :a. membaca langsung dari buku cerita atau dongengb. Menggunakan
ilustrasi dari bukuc. Menggunakan papan flaneld. Menggunakan media bonekae.
Menggunakan media audio visualf. Anak bermain beran atau sosiodrama. (Dwi
Siswoyo dkk, 2005 : 87). Strategi atau cara yang dapat digunakan ketika guru
memilih metode bercerita sebagai salah satu metode yang digunakan dalam
penanaman nilai moral adalah dengan membagi anak menjadi beberapa kelompok,
misalnya dalam satu kelas dibagi ke dalam 4 (empat) kelompok. Anak-anak yang
mengikuti kegiatan bercerita duduk dilantai mengelilingi guru yang duduk di kursi
kecil di kelilingi oleh mereka. Anak-anak yang duduk di lantai akan
mendengarkan cerita yang disampaikan oleh guru. Sedangkan tiga kelompok yang
lain duduk pada kursi meja yang lain dengan kegiatan yang berbeda-beda,
misalnya ada yang menggambar, melakukan kegiatan melipat kertas, sedangkan
kelompok yang keempat membentuk plastisin. Anak-anak yang mengikuti kegiatan
bercerita pada gilirannya akan mengikuti kegiatan menggambar, melipat kertas,
membentuk plastisin. Melalui cara ini masing-masing anak akan mendapaAUDan
kegiatan atau pengalaman belajar yang sama secara bergantian.
2. Bernyanyi
Pendekatan penerapan metode bernyanyi adalah suatu pendekatan
pembelajaran secara nyata yang mampu membuat anak senang dan bergembira. Anak
diarahkan pada situasi dan kondisi psikis untuk membangun jiwa yang bahagia,
senang menikmati keindahan, mengembangkan rasa melalui ungkapan kata dan nada,
serta ritmik yang menjadikan suasana pembelajaran menjadi lebih menyenangkan.
Pesan-pesan pendidikan berupa nilai dan moral yang dikenalkan kepada anak
tentunya tidak mudah untuk diterima dan dipahami secara baik. Anak tidak dapat
disamakan dengan orang dewasa. Anak merupakan pribadi yang memiliki keunikan
tersendiri. Pola pikir dan kedewasaan seorang anak dalam menentukan sikap dan
perilakunya juga masih jauh dibandingkan dengan orang dewasa. Anak tidak cocok
hanya dikenalkan tentang nilai dan moral melalui ceramah atau tanya jawab saja.
Oleh karena itu bernyanyi merupakan salah satu metode penamanan nilai moral
yang tepat untuk diberikan kepada anak usia dini.Bernyanyi jika digunakan
sebagai salah satu metode dalam penanaman moral dapat dilakukan melalui
penyisipan makna pada syair atau kalimat-kalimat yang ada dalam lagu tersebut.
Lagu yang baik untuk kalangan anak AUD harus memperhatikan kriteria sebagai
berikut:a. Syair/kalimatnya tidak terlalu panjangb. Mudah dihafal oleh anakc.
Ada misi pendidikand. Sesuai dengan karakter dan dunia anake. Nada yang
diajarkan mudah dikuasai anak (Otib Satibi Hidayat, 2005 : 4.28).
3. Bersajak
Sajak diartikan sebagai persesuaian bunyi suku kata dalam syair,
pantun, dan sebagainya terutama pada bagian akhir suku kata (Poerwadarminta,
2007: 1008). Pendekatan pembelajaran melalui kegiatan membaca sajak merupakan
salah satu kegiatan yang akan menimbulkan rasa senang, gembira, dan bahagia
pada diri anak. Secara psikologis anak Taman Kanak-kanak sangat haus dengan
dorongan rasa ingin tahu, ingin mencoba segala sesuatu, dan ingin melakukan
sesuatu yang belum pernah dialami atau dilakukannya.Melalui metode sajak guru
bisa menanamkan nilai-nilai moral kepada anak. Sajak ini merupakan metode yang
juga membuat anak merasa senang, gembira dan bahagia. Melalui sajak anak dapat
dibawa ke dalam suasana indah, halus, dan menghargai arti sebuah seni.
Disamping itu anak juga bisa dibawa untuk menghargai makna dari untaian kalimat
yang ada dalam sajak itu. Secara nilai moral, melalui sajak anak akan memiliki
kemampuan untuk menghargai perasaan, karya serta keberanian untuk mengungkap
sesuatu melalui sajak sederhana (Otib Satibi Hidayat, 2005 : 4.29)
4. Karya wisata
Karya wisata merupakan salah satu metode pengajaran di AUD dimana
anak mengamati secara langsung dunia sesuai dengan kenyataan yang ada, misalnya
hewan, manusia, tumbuhan dan benda lainnya. Dengan karya wisata anak akan
mendapaAUDan ilmu dari pengalamannya sendiri dan sekaligus anak dapat
menggeneralisasi berdasarkan sudut pandang mereka sendiri. Berkaryawisata
mempunyai arti penting bagi perkembangan anak karena dapat membangkiAUDan minat
anak pada sesuatu hal, dan memperluas perolehan informasi. Metode ini juga
dapat memperluas lingkup program kegiatan belajar anak Taman Kanak-kanak yang
tidak mungkin dapat dihadirkan di kelas.Melalui metode karya wisata ada
beberapa manfaat yang dapat diperoleh anak. Pertama, bagi anak karya wisata
dapat dipergunakan untuk merangsang minat mereka terhadap sesuatu, memperluas
informasi yang telah diperoleh di kelas, memberikan pengalaman mengenai
kenyataan yang ada, dan dapat menambah wawasan anak. Informasi-informasi yang
didapaAUDan anak melalui karya wiasata dapat pula dijadikan sebagai batu
loncatan untuk melakukan kegiatan yang lain dalam proses pembelajaran.Kedua,
karya wisata dapat menumbuhkan minat tentang sesuatu hal, seperti untuk
mengembangkan minat tentang dunia hewan maka anak dapat dibawa ke kebun
binatang. Mereka mendapat kesempatan untuk mengamati tingkah laku binatang.
Minat tersebut menimbulkan dorongan untuk memperoleh informasi lebih lanjut
seperti tentang kehidupannya, asalnya, makannya, cara berkembang biaknya, cara
mengasuh anaknya, dan lain-lain.Ketiga, karya wisata kaya akan nilai
pendidikan, karena itu melalui kegiatan ini dapat meningkaAUDan pengembangan
kemampuan sosial, sikap, dan nilai-nilai kemasyarakatan pada anak. Apabila
dirancang dengan baik kegiatan karya wisata dapat membantu mengembangkan aspek
perkembangan sosial anak, misalnya kemampuan dalam menggalang kerja sama dalam
kegiatan kelompok.Keempat, karya wisata dapat juga mengembangkan nilai-nilai
kemasyarakatan, seperti: sikap mencintai lingkungan kehidupan manusia, hewan,
tumbuhan, dan benda-benda lainnya. Karya wisata membantu anak memperoleh
pemahaman penuh tentang kehidupan manusia dengan bermacam perkerjaan, kegiatan
yang menghasilkan suatu karya atau jasa. Metode karya wisata bertujuan untuk
mengembangkan aspek perkembangan anak Taman Kanak-kanak yang sesuai dengan
kebutuhannya. Misalnya pengembangan aspek kognitif, bahasa, kreativitas, emosi,
kehidupan bermasyarakat, dan penghargaan pada karya atau jasa orang lain.
Tujuan berkarya wisata ini perlu dihubungkan dengan tema-tema yang sesuai
dengan pengembangan aspek perkembangan anak Taman Kanak-kanak. Tema yang sesuai
adalah tema: binatang, pekerjaan, kehidupan kota atau desa, pesisir, dan
pegunungan.Adapun beberapa pendekatan yang dapat digunakan dalam penanaman
nilai moral pada anak usia dini menurut Dwi Siswoyo dkk, (2005:72-81) adalah
indoktrinasi, klarifikasi nilai, teladan atau contoh, dan pembiasaan dalam
perilaku.
5. Indoktrinasi
Dalam kepustakaan modern, pendekatan ini sudah banyak menuai
kritik dari para pakar pendidikan. Akan tetapi pendekatan ini masih dapat
digunakan. Menurut Alfi Kohn, dalam Dwi Siswoyo (2005:72) menyatakan bahwa
untuk membantu anak-anak supaya dapat tumbuh menjadi dewasa, maka mereka harus
ditanamkan nilai-nilai disiplin sejak dini melalui interaksi guru dan
siswa.Dalam pendekatan ini guru diasumsikan telah memiliki nilai-nilai
keutamaan yang dengan tegas dan konsisten ditanamkan kepada anak. Aturan mana
yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan disampaiakan secara
tegas, terus menerus dan konsisten. Jika anak melanggar maka ia dikenai
hukuman, akan tetapi bukan berupa kekerasan.
6. Klarifikasi
Nilai
Dalam pendekatan klarifikasi nilai, guru tidak secara langsung
menyampaikan kepada anak mengenai benar salah, baik buruk, tetapi siswa diberi
kesempatan untuk menyampaiakan dan menyatakan nilai-nilai dengan caranya
sendiri. Anak diajak untuk mengungkapkan mengapa perbuatan ini benar atau
buruk. Dalam pendekatan ini anak diajak untuk mendiskusikan isu-isu
moral.Pertanyaan yang muncul, apakah pendekatan ini dapat digunakan untuk anak
AUD? Ternyata jawabannya dapat, karena anak AUD yang berumur 6 tahun berada
dalam masa transisi ke arah perkembangan moral yang lebih tinggi, sehingga
mereka perlu dilatih untuk melakukan penalaran dan keterampilan bertindak
secara moral sesuai dengan pilihan-pilihannya (Dwi Siswoyo (2005:76).
7. Teladan atau
Contoh
Anak AUD mempunyai kemampuan yang menonjol dalam hal meniru. Oleh
karena itu seorang guru hendaknya dapat dijadikan teladan atau contoh dalam
bidang moral. Baik kebiasaan baik maupun buruk dari guru akan dengan mudah
dilihat dan kemudian diikuti oleh anak. Figur seorang guru sangat penting utuk
pengembangan moral anak. Artinya nilai-nilai yang tujuannya akan ditanamkan
oleh guru kepada anak seyogyanya sudah mendarah daging terlebih dahulu pada
gurunya. Menurut Cheppy Hari Cahyono (1995 : 364-370) guru moral yang ideal
adalah mereka yang dapat menempaAUDan dirinya sebagai fasilitator, pemimpin,
orang tua dan bahkan tempat menyandarkan kepercayaan, serta membantu orang lain
dalam melakukan refleksi.Dalam pendekatan ini profil ideal guru menduduki
tempat yang sentral dalam pendidikan moral. Banyak para ahli yang berpendapat
dalam hal ini, diantaranya Durkheim, John Wilson dan Kohlberg. Durkheim,
misalnya ia berpendapat bahwa belajar adalah satu proses sosial yang berkaitan
dengan upaya mempengaruhi peserta didik sedemikian rupa sehingga mereka dapat
tumbuh selaras dengan posisi, kadar intelektualitas, dan kondisi moral yang
diharapkan oleh lingkungan sosialnya (Dwi Siswoyo, 2005:76). Sementara,
Kohlberg berpendapat bahwa tugas utama guru adalah memberi kontribusi terhadap
proses perkembangan moral anak. Tugas guru disini adalah mengembangkan
kemampuan peserta didik dalam berpikir, mempertimbangkan dan mengambil
keputusan.
8. Pembiasaan
dalam Perilaku
Kurikulum yang berlaku di AUD terkait dengan penanaman moral,
lebih banyak dilakukan melalui pembiasaan-pembiasaan tingkah laku dalam proses
pembelajaran. Ini dapat dilihat misalnya, pada berdoa sebelum dan sesudah
belajar, berdoa sebelum makan dan minum, mengucap salam kepada guru dan teman,
merapikan mainan setelah belajar, berbaris sebelum masuk kelas dan sebagainya.
Pembiasaan ini hendaknya dilakukan secara konsisten. Jika anak melanggar segera
diberi peringatan.Pendekatan lain yang dapat digunakan dalam penanaman nilai
moral menurut W. Huitt (2004) diantaranya adalah inculcation, moral
development, analysis, klarifikasi nilai, dan action learning.
1. Inculcation
Pendekatan ini bertujuan untuk menginternalisasikan nilai tertentu
kepada siswa serta untuk mengubah nilai-nilai dari para siswa yang mereka
refleksikan sebagai nilai tertentu yang diharapkan. Metode yang dapat digunakan
dalam pendekatan ini diantaranya modeling, penguatan positif atau negatif,
alternatif permainan, game dan simulasi, serta role playing.
2. Moral development
Tujuan dari pendekatan ini adalah membantu siswa mengembangkan
pola-pola penalaran yang lebih kompleks berdasarkan seperangkat nilai yang
lebih tinggi, serta untuk mendorong siswa mendiskusikan alasan-alasan pilihan
dan posisi nilai mereka, tidak hanya berbagi dengan lainnya, akan tetapi untuk
membantu perubahan dalam tahap-tahap penalaran moral siswa. Metode yang dapat
digunakan diantaranya episode dilema moral dengan diskusi kelompok kecil
3. Analysis
Pendekatan ini bertujuan untuk membantu siswa menggunakan pikiran
logis dan penelitian ilmiah untuk memutuskan masalah dan pertanyaan nilai,
untuk membantu siswa menggunakan pikiran rasional, proses-proses analitik,
dalam menghubungkan dan mengkonseptualisasikan nilai-nilai mereka, serta untuk
membantu siswa menggunakan pikiran rasional dan kesadaran emosional untuk
mengkaji perasaan personal, nilai-nilai dan pola-pola perilakunya. Metode yang
dapat digunakan dalam pendekatan ini diantaranya diskusi rasional terstruktur
yang menuntut aplikasi rasio sama sebagai pembuktian, pengujian
prinsip-prinsip, penganalisaan kasus-kasus analog dan riset serta debat.
4. Klarifikasi nilai
Tujuan dari pendekatan ini adalah membantu siswa menjadi sadar dan
mengidentifikasi nilai-nilai yang mereka miliki dan juga yang dimiliki oleh
orang lain, membantu siswa mengkomunikasikan secara terbuka dan jujur dengan
orang lain tentang nilai-nilai mereka, dan membantu siswa menggunakan pikiran
rasional dan kesadaran emosional untuk mengkaji perasaan personal, nilai-nilai
dan pola berikutnya. Metode yang dapat digunakan dalam pendekatan ini antara
lain, role playing games, simulasi, menyusun atau menciptakan situasi-situasi
nyata atau riil yang bermuatan nilai, latihan analisis diri (self analysis)
secara mendalam, aktivitas melatih kepekaan (sensitivity), aktivitas di luar
kelas serta diskusi kelompok kecil.
5. Action learning
Tujuan dari pendekatan ini adalah memberi peluang kepada siswa
agar bertidak secara personal ataupun sosial berdasarkan kepada nilai-nilai
mereka, mendorong siswa agar memandang diri mereka sendiri sebagai makhluk yang
tidak secara otonom interaktif dalam hubungan sosial personal, tetapi anggota
suatu sistem sosial. Metode yang dapat digunakan dalam pendekatan ini adalah
metode-metode didaftar atau diuruAUDan untuk analisis dan klarifikasi nilai,
proyek-proyek di dalam sekolah dan praktek kemasyarakatan, keterampilan praktis
dalam pengorganisasian kelompok dan hubungan antar pribadi.
B.
Instrument
penilaian untuk pengembangan nilai-nilai keagamaan AUD
Penilaian itu menekankan pada proses pembelajaran. Oleh sebab itu,
data yang dikumpulkan harus diperoleh dari kegiatan nyata yang dikerjakan anak
pada saat melakukan proses pembelajaran. Karakteristik penilaian yang ideal
adalah dilaksanakan selama dan sesudah pembelajaran berlangsung, bisa digunakan
untuk formatif performasi, berkesinambungan, terintegrasi dan dapat digunakan
sebagai feed back. Untuk menjaring data hasil belajar, anda dapat menggunakan
hal-hal yang bisa memberikan masukan penilaian prestasi anak seperti: hasil
dari kegiatan/ proyek, pekerjaan rumah, karya wisata, penampilan anak,
demonstrasi dan catatan observasi. Instrumen yang dapat Anda digunakan untuk
penilaian di Taman Kanak-kanak dengan memperhatikan sifat dan karakteristiknya
adalah hasil kerja anak (portofolio) yang meliputi hasil karya, hasil
penugasan, kinerja anak, tes tertulis, dan format observasi.
Alat Penilaian dalam
Pengembangan Moral Anak
Penilaian
bertujuan untuk mengetahui ketercapaian kemampuan yang telah ditetapkan dalam
Garis-garis Besar Program Kegiatan Belajar Taman Kanak-kanak. Penilaian hasil
belajar anak didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan
perbaikan hasil belajar anak didik secara berkesinam-bungan.
Prinsip-prinsip
penilaian adalah menyeluruh, berkesinambungan, berorientasi pada proses dan
tujuan, objektif, mendidik, kebermaknaan, dan kesesuaian.
Pada
saat kita akan melakukan penilaian dalam berbagai hal termasuk di dalamnya
menilai perkembangan moral, kita perlu menentukan alat penilaian yang tepat
dengan kondisi anak yang sesungguhnya. Alat pendukung tersebut adalah:
pengamatan (observasi) dan
pencatatan anekdot
pemberian tugas meliputi
tes perbuatan dan pertanyaan lisan sebagai latihan mengungkapkan gagasan dan
keberanian berbicara.
Macam-macam Strategi Perencanaan Penilaian dalam Pengembangan Moral Anak Usia
Taman Kanak-kanak
Untuk
mengekspresikan proses kegiatan belajar, guru perlu melakukan penilaian atau
evaluasi. Penilaian perlu dilaksanakan agar guru Taman Kanak-kanak mendapat
umpan balik tentang kualitas keberhasilan dalam kegiatan anak yang diarahkan
untuk pengembangan perilaku dan moralitas secara keseluruhan.
Penilaian
yang dilakukan guru merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan
belajar, baik yang menggunakan metode bercakap-cakap, bercerita, maupun bermain
peran. Tanpa adanya penilaian, tidak dapat diketahui secara rinci apakah tujuan
pengembangan aspek perilaku dan moralitas anak dapat dicapai secara maksimal.
Hasil penilaian kualitas keberhasilan dalam kegiatan pembelajaran tersebut,
memberikan masukan kepada guru untuk membuat keputusan pembelajaran, dalam
rangka meningkatkan mutu pelaksanaan kegiatan pembelajaran dengan metode
tersebut dimasa yang akan datang.
Esensi Pengembangan Nilai-nilai Keagamaan Anak Taman Kanak-kanak
Taman
Kanak-kanak merupakan lembaga pendidikan yang pertama, yang keberadaannya
sangat strategis untuk menumbuhkan jiwa keagamaan kepada anak-anak, agar mereka
menjadi orang-orang yang kuat, terbiasa, dan peduli terhadap segala aturan
agama yang diajarkan kepadanya.
Pendidikan
nilai-nilai keagamaan merupakan pondasi yang kokoh dan sangat penting
keberadaannya, dan jika hal itu telah tertanam serta terpatri dalam setiap
insan sejak dini, hal ini merupakan awal yang baik bagi pendidikan anak bangsa
untuk menjalani jenjang pendidikan selanjutnya.
Bangsa
ini sangat menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan. Nilai-nilai keagamaan ini
pun dikehendaki agar dapat menjadi motivasi spiritual bagi bangsa ini dalam
rangka melaksanakan sila-sila pertama dan sila berikutnya dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, pendidikan yang
merupakan kunci dalam membentuk kehidupan manusia ke arah peradabannya menjadi
sesuatu yang sangat strategis dalam mencapai tujuan itu semua.
Potret, Hakikat, dan Target
Anak Taman Kanak-kanak dalam Belajar Nilai-nilai Keagamaan
Setiap
potensi apapun yang muncul dari anak seyogianya kita kembangkan dengan jelas
dan terprogram dengan baik. Tidak hanya perkembangan bahasa, daya pikir,
keterampilan dan jasmani saja, namun aspek keagamaan pun seharusnya menjadi
salah satu pokok pengembangan dan pembinaan yang harus dikelola, diprogram dan
diarahkan dengan sempurna
Kaitannya
dengan hakikat belajar anak Taman Kanak-kanak pada nilai-nilai keagamaan,
seharusnya kita pahami bahwa hal itu harus berorientasi pada fungsi pendidikan
di Taman Kanak-kanak itu sendiri, yaitu sebagai fungsi adaptasi, fungsi
pengembangan dan fungsi bermain. Penyelenggaraannya pun harus sesuai dengan 6
prinsip, yaitu prinsip pengamatan, peragaan, bermain sambil belajar,
otoaktivitas, kebebasan dan prinsip keterkaitan dan keterpaduan.
Target
dalam mengembangkan nilai-nilai keagamaan kepada anak Taman Kanak-kanak adalah
diharapkan mampu mewarnai pertumbuhan dan perkembangan dari diri mereka.
Sehingga diharapkan akan muncul suatu dampak positif yang berkembang meliputi
fisik, akal pikiran, akhlak, perasaan kejiwaan, estetika, dan kemampuan
sosialisasinya diwarnai dengan nilai-nilai keagamaan.
Petunjuk Penggunaan Instrumen Penilaian Pengembangan Nilai-nilai
Keagamaan Anak Taman Kanak-kanak
Alat penilaian yang digunakan untuk menilai bidang pengembangan
nilai-nilai agama adalah sebagai berikut: pengamatan (observasi) dan pencatatan
anekdot (anecdotal record), penugasan melalui tes perbuatan, pertanyaan lisan
dan menceritakan kembali. Hal-hal yang dapat dicatat guru sebagai bahan
penilaian adalah: anak-anak yang belum dapat menyelesaikan tugas dan anak-anak
yang dapat menyelesaikan tugas dengan cepat, kebiasaan/perilaku anak yang belum
sesuai dengan yang diharapkan dan kejadian-kejadian penting yang terjadi pada
hari penulisan pelaporan hasil penilaian pada laporan perkembangan anak.
Sebelum uraian (deskripsi), terlebih dahulu dilaporkan perkembangan anak secara
umum untuk tiap-tiap program pengembangan. Untuk laporan secara lisan dapat
dilaksanakan dengan bertatap muka dan mengadakan hubungan atau informasi timbal
balik antara pihak AUD dan orang tua/wali dari si anak..
Sejak jaman dahulu, anak-anak – manusia dan binatang senantiasa
bermain. Pada dinding-dinding kuil dan kuburan orang-orang Mesir kuno ditemukan
relief-relief yang menggambarkan anak-anak sedang bermain. Menurut sebagian
para ahli, bola yang terbuat dari kain atau kulit-kulit binatang merupakan
salah satu alat bermain yang tertua. Demikian juga “gasing”, yang disebut oleh
filosof Plato dalam bukunya Republic , dan dijadikan sebagai simbol kehidupan
oleh salah seorang penyair Romawi. “Hidup kita ini, “ katanya, “bagaikan
gasing. Ia ditarik dengan tali namun tetap berputar dan menari”.
Bagi anak, bermain adalah suatu kegiatan yang serius, namun
mengasyikan. Melalui aktivitas bermain, berbagai pekerjaannya terwujud. Bermain
adalah aktivitas yang dipilih sendiri oleh anak, karena menyenangkan, bukan
karena akan memperoleh hadiah atau pujian. Hal ini berdasarkan asumsi bahwa
anak adalah pembangun teori yang aktif (theory builder). Bermain adalah salah
satu alat utama yang menjadi latihan untuk pertumbuhannya. Bermain adalah
medium, di mana anak mencobakan diri, bukan saja dalam fantasinya tetapi juga
benar nyata secara aktif. Bila anak bermain secara bebas, sesuai kemauan maupun
sesuai kecepatannya sendiri, maka ia melatih kemampuannya untuk belajar.
(Agustin, 2005).
Para ahli memiliki keragaman pandangan tentang bentuk-bentuk
pembelajaran anak usia dini. Pandangan dengan berbagai latar belakang
filosofisnya tersebut banyak disebut dengan sitilah model pembelajaran. Apakah
model ? Model secara sederhana adalah ”gambaran” yang dirancang untuk mewakili
kenyataan. Model didefinisikan sebagai “a replica of the fhenomena it attempts
to explain” (Runyon, dalam Rakhmat, 1988:59). Jadi dalam kegiatan pembelajaran
model dapat dimaknai sebagai suatu pola atau gambaran yang menjelaskan tentang
berbagai bentuk, pandangan yang terkait dengan kegiatan pembelajaran.
Adapun model-model pembelajaran anak usia dini dapat didefinisikan
sebagai serangkaian pola, bentuk, kegiatan ataupun cara pandang kelompok
tertentu terhadap kegiatan belajar anak usia dini.
A. Kesimpulan
Anak usia dini merupakan anak yang memiliki karakteristik suka
bergerak (tidak suka diam), mempunyai rasa ingin tahu (curiosity) yang tinggi,
senang bereksperimen dan menguji, mampu mengekspresikan diri secara kreatif,
mempunyai imajinasi, dan senang berbicara. Anak memerlukan dan menuntut untuk
bergerak yang melibatkan AUD mengkoordinasikan otot kasar. Anak juga memerlukan
kesempatan untuk menggunakan tenaga sepenuhnya saat melakukan kegiatan. Oleh
karena itu diperlukan ruang yang luas serta sarana dan prasarana (peralatan)
yang memadai. Setiap guru akan menggunakan metode sesuai dengan gaya
melaksanakan kegiatan.
Menurut
Kohlberg perkembangan moral anak usia prasekolah (PAUD) berada pada tingkatan
yang paling dasar yang dinamakan dengan penalaran moral prakonvensional. Pada
tingkatan ini anak belum menunjukkan internalisasi nilai-nilai moral (secara
kokoh). Namun sebagian anak usia PAUD ada yang sudah memiliki kepekaan atau
sensitivitas yang tinggi dalam merespon lingkungannya (positif dan negatif).
Misalkan ketika guru/orang tua mentradisikan atau membiasakan anak-anaknya
untuk berperilaku sopan seperti mencium tangan orang tua ketika berjabat
tangan, mengucapkan salam ketika akan berangkat dan pulang sekolah, dan
contoh-contoh positif lainnya maka dengan sendirinya perilaku seperti itu akan
terinternalisasi dalam diri anak sehingga menjadi suatu kebiasaan mereka
sehari-hari. Demikian pula sebaliknya kalau kebiasaan negatif itu dibiasakan
kepada anak maka perilaku negatif itu akan terinternalisasi pula dalam dirinya.
Metode dalam penanaman nilai moral kepada anak usia dini sangatlah
bervariasi, diantaranya bercerita, bernyanyi, bermain, bersajak dan karya
wisata.
B. Saran
Dalam mendesain pendekatan pembelajaran nilai-nilai moral dan
agama bagi anak usia dini,terlebih dahulu seorang guru harus melihat
kesesuaian pendekatan dengan tingkat perkembangan kebutuhan anak, agar
pendekatan yang digunakan dapat digunakan dengan maksimal bdan dapat
mengembangkan berbagai aspek perkembangan pada diri anak, terutama aspek
perkembangan nilai moral dan agama AUD.
Guru hendaknya juga mempertimbangkan suatu pendekatan apakah sudah merngacu
pada kurikulum yang sesuai untuk anak usia dini dan berorientasi pada anak.
Sebelum mendesain syuatu kegiatan pembelajaran, guru hendaknya terlebih dahulu
mengetahui langkah-langkah kegiatan yang akan diajarkan pada anak. Kegiatan
yang dilakukan hendaknya mengacu pada tujuan dan hasil belajar yang nyata
sehingga memperlihatkan bahwa kegiatan tersebut bermanfaat bagi anak.
Dalam penilaian hendaknya guru menggunakan berbagai instrument penilaian
sehingga aspek yang dinilai dari anak lebih terlihat jelas atau sesuai dengan
yang diinginkan
DAFTAR PUSTAKA
Lilis Suryani dkk. (2008) Metode
Pengembangan Perilaku dan Kemampuan Dsar Anak Usia Dini. Jakarta:
Universitas Terbuka.