Pemikiran Tokoh Hadis Kontemporer ini saya buat untuk mengetahui biografi dan perjalanan hidup para pemikir hadis kontemporer. Ada banyak tokoh para pemikir hadis kontemporer yang akan saya paparkan.
1. MUHAMMAD ABDUH
Ø Lahir di Mahallah, Mesir, pada 1849
Masehi.
Ø
Hafal al-Qur'an usia 12 tahun
Ø Kuliah
di Mesir, setamat kuliah dia menjadi guru dan dosen
Ø Abduh banyak belajar kepada Jamaluddin
Al-Afghani
Ø
Tahun
1882 dideportasi karena terlibat dalam Revolusi Arab. Ia tinggal di
Syam, dan sempat tinggal juga di Paris, Prancis (selama 10 bulan). Di Paris ia
menulis jurnal judulnya Urwatul Wutsqo bersama Jamaluddin al-Afghani.
Ø Pada
1889 Abduh kembali ke Mesir, lalu menjadi mufti. Dia terkenal sebagai
pembaharu/reformer melalui pendidikan. Dia mengidealkan pada masa Nabi dan salafus soleh (para sahabat dan
tabi'in), dan langsung merujuk sumber asli (al-Qur'an dan Hadis).
Ø Metode pembaharuannya: Al-Manhaj Al-Wustha
(jalan tengah), yaitu tidak taqlid pada ilmu-ilmu agama yang dibuat ulama dan
tidak silau pada ilmu-ilmu dunia (barat).
Ø Wafat 11 Juli 1905
2. RASYID RIDHA
Ø Nama lengkapnya Sayyid Muhammad Rasyid
Ridha.
Ø Lahir di Qalmun, desa yang letaknya 4 km
dari Tripol, Libanon, pada 1282 H.
Ø Dia
masih keturunan Nabi dari Husen putera Ali bin Abi Thalib dan Fatimah binti
Muhammad saw.
Ø Semenjak di bangku sekolah, dia sudah
belajar bahasa Turki dan Prancis.
Ø Ridha banyak belajar secara door to door
dengan beberapa pakar. Di bidang hadis dia belajar pada Mahmud Nasyabah.
Ø Ridha pandai menilai hadis-hadis yang
dha'if dan maudhu' (palsu), sehingga digelari "voltaire", filosof
Prancis.
Ø Ridha pengagum Muhammad Abduh, dan menjadi
muridnya. Mulai intensnya ketika Abduh mengajar di Beirut, Tripoli, dan
terakhir, di Mesir.
Ø Ridha
dan Abduh mengelola koran yang isinya tentang sosial, budaya dan agama. Koran
itu bernama Al-Manar.
Ø Bersama
Abduh, Ridha menulis tafsir Al-Manar, yang dimuat secara berkala di koran
Al-Manar.
Pemikiran Hadis menurut Muhammad Abduh dan
Rasyid Ridha:
v Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha menekankan
ijtihad
v Muslim harus percaya pada al-Qur'an dan
Hadis Mutawatir. Sedang Hadis Ahad, kembali pada pribadi masing-masing.
v
Menurut Ridha, dosa-dosa kecil sebagian perawi
lain yang dapat dipercaya, tidak menghalangi diterimanya semua hadis mereka.
Begitu juga sebaliknya, meskipun perawinya dipercaya, tapi matan (hadisnya)
bertentangan dengan al-Qur'an harus ditinggalkan.
v Menurut
Ridha masalah adab dan akhlak hanya didasarkan pada hadis-hadis Ahad.
Hadis-hadis Ahad harus dipandang sebagai perluasan dan ulasan tentang
al-Qur'an. انا نحن
نزلنا الذكر : zikr dalam ayat itu diartikan sebagai Sunnah Nabi.
v Menurut Ridha seorang perawi memiliki
'adalah, tidaklah mencukupi untuk menerima segala yang diriwayatkannya. Isnad
dan matan harus diteliti juga.
v Ridha menolak hadis Isra'iliyat. Dia
mengkritik perawi Ka'ab yang banyak meriwayatkan Hadis Israi'iliyat. Contohnya:
(1) "Matahari dan bulan akan ke neraka pada hari kiamat, seperti dua sapi
jantan yang sudah dilumpuhkan." (2) "Allah telah mengizinkan untuk
mengatakan kepadamu tentang ayam jantan yang kedua kakinya mencapai bumi dan
yang lehernya ada di bawah arsy. (lihat Al-Jami'us Shaghir, karangan
Al-suyuthi).
v Hadis ganjil tentang pengobatan, misalnya
lalat. Rasul bersabda, "Bila lalat jatuh ke dalam kendimu, tenggelamkan
sepenuhnya terlebih dahulu, baru kemudian buang, karena satu sayapnya memberi
obat, satunya lagi penyakit" (Bukhori). Kata Ridha, hadis tersebut ganjil.
Ada dua alasan: (1) Di lihat hadis itu dari sudut pandang pembuat
undang-undang, hadis itu menginjak-injak dua prinsip utama; tidak menasihati
agar menghindari sesuatu yang buruk, dan tidak menasihati agar menghindari
sesuatu yang kotor. (2) Meskipun ilmu pengetahuan modern telah mengalami
kemajuan, namun tetap tidak dapat diketahui bedanya antara sayap lalat yang
satu dengan sayap yang satunya lagi. Jika perawinya tidak membuat kesalahan
dalam menyusun kata-kata hadis itu, hadis itu dapat dipandang diilhami oleh
Allah, tetapi sangatlah mungkin ilmu pengetahuan modern tidak akan pernah
mengetahui perbedaannya. Dan dalam kasus itu, harus disimpulkan bahwa hadis
itu, sekalipun isnad-nya sahih, matan-nya tidak shahih.
v Ridha dan Abduh menggunakan akal secara
luas dalam memahami ayat-ayat Al-Qur'an dan bersikap kritis atas hadis-hadis
yang dianggap shahih oleh umat Islam mayoritas.
v Ridha menolak hadis Bukhori yang
menceritakan tentang tersihirnya Nabi yang tidak hanya dianalisanya dari sisi
matan tetapi juga dari sisi sanadnya karena salah seorang perawi hadis ini
ditolak oleh ulama al-jarh wa at-ta'dil.
v Ridha menolak Hadis terbelahnya bulan yang
disampaikan Abu Hurairah melalui Ibnu Juraij yang disebutnya sudah pikun saat
menceritakan hadis itu.
v Rasyid Ridha, sama seperti Abduh, sangat
berhati-hati menerima riwayat yang mengemukakan pendapat para sahabat Nabi
sebagaimana dikutipnya kata-kata As-Suyuthi dalam Al-Itqon ketika menyatakan
bahwa dalam kitab Fadha'il al-Imam asy-Syafi'i karangan Abu Abdillah Muhammad
bin Ahmad Syakir al-Qathan, terdapat satu riwayat dari Ibnu Abdil Hakam:
"Aku mendengar Syafi'i berkata: Tidak sah (riwayat yang dinisbatkan)
kepada Ibnu Abbas menyangkut tafsir kecuali sekitar 100 hadis.
v Karena itu, Ridha sangat hati-hati sekali
menerima tafsir Ibnu Abbas dalam menafsirkan ayat-ayat yang turun di Mekkah
dengan dasar: Ibnu Abbas bukanlah salah seorang yang menghafal al-Qur'an atau
meriwayatkan Hadis pada periode Mekkah, karena beliau lahir 3 tahun sebelum
hijrah atau lima tahun sebelumnya sehingga bisa jadi itu timbul dari pendapat
pribadinya atau pendapat orang yang dia riwayatkan.
v Hal dan alasan yang sama dikemukakan Ridha
menyangkut umur Ibnu Abbas ketika dia menolak riwayat yang ada dalam Shahih
Muslim menyangkut keikutsertaan malaikat dalam perang badar dan pendapatnya
bahwa Ibnu Abbas tidak segan-segan mengambil riwayat dari orang lain meskipun
sekelas Ka'ab al Ahbar.
3. AHMAD AMIN
v Lahir di Kairo, pada 1878 dan meninggal
pada 30 Mei 1954.
v Pernah menjadi Guru Besar di Universitas
Kairo pada 1934-1941.
v Dia dikenal sebagai sejawaran Islam.
Adapun karya-karyanya: Fajrul Islam, Duhal Islam, Zuhrul Islam, dll.
v Amin menganggap pemalsuan Hadis telah
terjadi semenjak Rasul masih hidup. Berdasarkan hadisمن كذب علي متعمد فليتبوء مقعده من النار.
v Amin tak percaya kalau semua para sahabat
bersifat 'adil. Alasannya: di antara para sahabat saja sering terjadi
kritik-mengkritik. Thalhah, Zubair, Aisyah Vs. Ali, Muwaiyah dan Amr bin Ash
Vs. sahabat lain. Juga ditambah dengan adanya al-fitnah al-kubra I (pasca
kematian Utsman) dan al-fitnah al-kubra II (pasca kematian Ali). Dari peristiwa
tersebut para sahabat tidak netral lagi. Terjadi blok-blok dan perang
mengeluarkan hadis sesuai kepentingannya masing-masing, dan menyerang yang
lain. Generasi pasca tabi'in hingga sekarang yang mengkultuskan bahwa para
sahabat 'adil semua.
v Amin memperkuat dengan alasan lainnya:
Ibnu Abbas menolak hadis Abu Hurairoh yang berbunyi 'Barangsiapa membawa mayit,
maka berwudhulah'.
Aisyah juga menolak hadis Abu Hurairoh berbunyi 'barangsiapa bangun dari
tidurnya maka basuhlah tangannya'.
4. HUSAIN HAIKAL
Ø Lahir di Kairo, pada 30 Agustus 1888.
Ø Kuliah di Prancis hingga jenjang doktoral
pada 1912. Dia mengambil jurusan Hukum.
Ø Karirnya sebagai pengacara dan pengajar di
Sekolah Tinggi Hukum Kairo. Pernah menjadi Menteri Negara Urusan Dalam Negeri.
Dia juga pernah menulis novel Zainab yang terkenal, tentang kehidupan petani di
Mesir.
Ø Karya-karyanya yang terkenal adalah: Hayat
Muhammad saw, Zainab, al-Iman wal Ma'rifah wal Falsafah.
Ø Husain Haikal lebih perhatian pada matan
hadis ketimbang sanad hadis. Dia adalah pengikut Muhammad Abduh dan Rasyid
Ridha.
Ø Haikal tidak percaya dengan hadis-hadis
yang tidak masuk akal. Dia juga sangat kritis terhadap hadis-hadis Isra'
Mi'raj. Dia mengutip beberapa hadis yang dianggapnya shahih secara matan, meski
sanadnya lemah. Seperti matan dari riwayat Aisyah, Ummu Hani, dan Muawiyah
adalah shahih walau sanadnya lemah. Karena semua matannya sesuai dengan
Alquran: al-Isra: 60, al-Kahfi: 110, an-Nisa: 68.
5. YUSUF QARDHAWI
v Yusuf Qardhawi lahir di desa Shaft Turab,
daerah Mahallah Al-Kubra, Mesir, pada 9 September 1926. Pada usia 10 tahun dia
sudah hafal Alquran.
v Pendidikan formalnya ditempuh di Al-Azhar
Mesir. Keahliannya adalah dalam bidang Aqidah, Tafsir, dan Hadis. Hal itu
didukung oleh pelajarannya di Fakultas Ushuluddin, yang diselesaikannya pada
tahun 1960.
v Di antara karya-karyanya adalah Al-Quran
& As-Sunnah, As-Sunnah Sebagai Sumber IPTEK & Peradaban, Fiqh Prioritas Sebuah Kajian Baru Berdasarkan Al-Quran &
Al-Sunnah,dll.
v Pemikiran Yusuf Qardhawi Tentang Hadis :
1.
Agar
sukses memahami hadis secara benar, Qardhawi menegaskan bahwa kita harus
menghimpun Hadis Shahih yang berkaitan dengan suatu tema tertentu. Kemudian mengembalikan
kandungan yang mutasyabih kepada yang muhkam, mengaitkan yang mutlak dengan
muqayyad, dan menafsirkan yang ‘am dengan khos. Dengan cara itu, suatu hadis
dapatlah dimengerti maksudnya dengan lebih jelas dan tidak dipertentangkan
antara hadis yang satu dengan yang lain.
2.
Mencukupkan
diri dengan dengan pengertian lahiriah suatu Hadis saja tanpa memerhatikan
hadis-hadis lainnya, dan teks-teks lain yang berkaitan dengan topik tertentu
seringkali menjerumuskan orang ke dalam kesalahan, dan menjauhkannya dari
kebenaran mengenai maksud sebenarnya dari konteks-konteks hadis tersebut.
Misalnya: لا يدخل هذا بيت قوم إلا أدخله الله
الذل (“Tidak
akan masuk (alat) ini ke rumah suatu kaum, kecuali Allah pasti memasukkan
kehinaan ke dalamnya.” (HR Bukhori).
3.
Pengertian
lahiriah hadis ini mengisyaratkan bahwa Rasulullah tidak menyukai pekerjaan
bertani sebab akan mengakibatkan kehinaan bagi para pekerjanya. Namun secara
lahiriah bertentangan dengan Hadis Shahih lainnya, karena sunnah yang kemudian
dirinci dalam fiqih telah banyak menjelaskan tentang hukum-hukum pertanian,
pengairan dan penggarapan tanah kosong, serta segala sesuatu yang berkaitan
dengan hak dan kewajiban masing-masing.
4.
Hadis
itu sebenarnya berlaku bagi orang yang berada di dekat daerah musuh, sebab
apabila ia menyibukkan dirinya dengan pertanian, ia akan melupakan tugas
kewiraan, sehingga musuh menjadi berani. Semestinya orang yang demikian lebih
memilih ketrampilan ketentaraan (Pendapat Yusuf Q.).
5.
Menggabungkan
antara dua hadis yang dianggap bertentangan kemudian mentarjihnya (memilih yang
paling kuat dan rasional). Contoh:
“Nabi saw melaknat wanita-wanita yang menziarahi kubur” (HR At-Turmudzi). Hadis itu bertentangan dengan hadis,
“Rasul bersabda, ‘aku pernah melarang kalian menziarahi kuburan, kini
berziarahlah’…” .
6. MUHAMMAD AL-GHAZALI
v Muhammad Al-Ghazali di sini bukanlah
Muhammad Al-Ghazali yang menulis kitab Ihya Ulumuddin.
v Dia lahir pada 1917 M di al-Bahirah,
Mesir, kuliah di Al-Azhar Mesir, lulus pada 1941. Dia aktif di organisasi Ikhwanul Muslimin. Dia
juga aktif menulis dan berceramah.
v Muhammad Al-Ghazali wafat pada sabtu 9
syawal 1416 H bertepatan dengan tahun 1996.
v Di antara karya-karyanya adalah As-Sunnah
An-Nabawiyyah Baina Ahlul Fiqh wa Ahlul Hadis, Al-Islam Wa Al-Ausa’
Al-Iqtishadiyah, dll.
v Pemikiran Hadis Muhammad Al-Ghazali
-
Keterhindaran
dari syadz dan ‘illat, merupakan persyaratan keshahihan matan.
-
Dia
tidak mensyaratkan ketersambungan sanad sebagai salah satu syarat keshahihan
sanad hadis.
-
Banyak
tertuju pada matannya saja. Dia sering mengajukan pertanyaan: Apa gunanya hadis
dengan isnad yang kuat tetapi memiliki matan yang cacat?
-
Hadis
Mutawatir cakupannya sangat luas (aqidah, hukum, dan muamalah). Hadis mutawatir
juga akan mendatangkan ketenangan jiwa bagi pengamalnya. Sedang Hadis Ahad
hanya menghasilkan dugaan kuat (zann al-‘ilmi), dan cakupannya hanya dalam
cabang-cabang hukum syari’ah. Karena itu, dia hanya menerima hadis-hadis
mutawatir untuk persoalan dasar Islam, seperti tentang akidah dan hukum.
-
Hadis
tentang “Orang yang meninggal diazab karena ditangisi yang hidup
(baca:keluarganya)”, dari 37 jalur sanad hadis itu hanya dua jalur yang dapat
diterima, yaitu yang terdapat dalam Shahih Muslim. Yaitu hanya riwayat dari
Aisyah yang dapat diterima, sedang yang lainnya ditolak. Hal ini didasarkan
pada Aisyah sendiri yang menolak hadis di atas, karena bertentangan dengan
Alquran, “Tidaklah seseorang menanggung dosa orang lain…” (Al-An’am: 164).
-
Hadis
berbunyi, “Tidak akan sukses suatu kaum (masyarakat) yang menyerahkan urusannya
kepada wanita.” (HR Bukhori). Hadis itu harus dilihat konteksnya. Ketika Nabi
SAW mengucapkan hadis itu pasukan Persia telah dipaksa mundur dan luas
wilayahnya makin menyempit. Sebenarnya masih ada kemungkinan untuk menyerahkan
kepemimpinan negara kepada seorang jenderal yang piawai, yang mungkin dapat
menghentikan kekalahan demi kekalahan. Namun, paganisme politik tidak
menjadikan rakyat dan negara sebagai harta warisan yang diterimakan kepada
seorang wanita muda yang tidak tahu apa-apa. Hal itulah yang menandakan bahwa
Persia sedang menuju kehancuran total.
-
M.
Al-Ghazali mengatakan bahwa wanita yang tidak boleh diserahi tugas sebagai
pemimpin oleh Nabi Saw adalah wanita yang tidak memenuhi syarat kepemimpinan,
baik dilihat dari segi kepakaran maupun dilihat dari segi budaya setempat.
Jadi, Hadis di atas tidak dapat dijadikan sebagai dasar penolakan wanita
sebagai pemimpin.
7.
MUSTHAFA AS-SIBA’I
As-siba’i
mengutip asy-Syafi’i yang mengatakan bahwa istilah bayan (atau tibyan,
sebagaimana yang digunakan Shidqi dari ayat Alquran, surah 16 ayat 89)
bermaksud menerangkan prinsip-prinsip dan juga cabang-cabangnya. Al Qur’an
mungkin saja memberikan ajaran-ajaran yang terinci, sehingga tidak diperlukan
lagi penjelasan tambahan: namun al Qur’an juga mengandung ajaran-ajaran yang
kata-katanya disusun dalam istilah-istilah yang luas sehingga sangat diperlukan
keterangan yang terinci.
Dalam kasus yang terakhir. Al Qur’an itu
sendiri mengindikasikan agar kita menemukan penjelasan tentang ajaran-ajaran
yang luas ini: penjelasan tersebut dapat ditemukan dalam sunnah Nabi, karena
Allah memerintahkan kepada manusia untuk menaati Nabi-nya. Dengan kata lain,
alquran adalah sebuah Hujjah, dan sunnah juga demikian, karena ketaatan kepada
Nabi dalam segala yang diperintahkannya mendapat penekanan dalam alquran.
Pertama-tama as-Siba’i menyangkal sepenuhnya bahwa hadis mutawatir
itu jumlahnya tak lebih dari satu atau tujuh. Tanpa mengutip sumber-sumbernya,
dia menyebutkan bahwa jumlah hadis mutawatir itu jauh lebih banyak. Kedua, tidak ada ulama yang pernah
menempatkan praktik ahad di bawah kelompok “dibolehkan” yaitu ja’iz. As-Siba’i
menyinggung lima kualifikasi, al-ahkam al-khamsah. Hanya orang-orang seperti
kaum Rafidhi yang fanatik sajalah yang menolak sama sekali hujjiyat al-sunnah;
mayoritas besar kaum Muslim, tandas As-Siba’i, mengamalkan hadis-hadis ahad
sebagai kewajiban, jika hadis-hadis ahad ini terbukti sahih.
Beberapa sarjana mengakui bahwa mempercayai
hadis-hadis ahad bahkan merupakan suatu keharusan; hal ini berarti bahwa
mengetahui hadis-hadis tersebut sama wajibnya dengan mengamalkannya. Apa lagi
yang tertinggal dalam sunnah, kata ak-siba’i, kalau mutawatir disebut-sebut
tidak ada, dan pengamatan hadis-hadis ahad hanya setingkat “dibolehkan”! lantas
apa kedudukannya di tengah-tengah sumber-sumber perundang-undangan islam!
Lantas apa gunanya sunnah bagi kaum muslim.
Inilah contoh gaya as-Siba’i,
yang dengan keras hati berbicara berulang-ulang tentang kesalahan-kesalahan
lawannya, yang pribadi tidak pernah luput dari kritiknya. Inilah gaya as-siba’I
dalam menulis bukunya setebal 500 halaman yang berjudul as-Sunnah wa Makanatuha Fi al-Tasyri al-Islami. Selama tahun-tahun
terakhir masa hidupnya, as-Siba’i mengajar hukum Islam pada universitas
Damaskus. Motif-motif penulisan buku ini dijelaskan oleh penulis secara panjang
lebar dalam kata pengantar.
Lahir di Suriah, as-siba’i pergi
ke Kairo untuk belajar di Universitas al-Azhar. Pada 1939 dia mengikuti
kuliah-kuliah ‘Ali Hasan ‘Abdul Qadir tentang sejarah perundang-undangan islam.
Sarjana ini pernah belajar di Jerman, dan kembali ke Mesir dengan menyandang
gelar doctor dari Jerman untuk mengajar di Al-Azhar. Dia menggunakan studi
Goldziher mengenai hadis dalam Muhammadanische Studien, bagian dua, sebagai
buku teks; dia menerjemahkan naskah Jerman ke dalam bahasa Arab, dan
berdasarkan ini dia mengajar sejarah sunnah. Dia sendiri sepenuhnya mendukung
gagasan-gagasan yang dikemukakan Goldziher dalam bukunya, dan dia tidak mau
menyerah terhadap argument yang menentangnya yang dilontarkan oleh
pendengarnya. Dia memandang metode Goldziher sebagai “… suatu metode ilmiah, yang
belum pernah diterapkan di Al-Azhar hingga sekarang.”
Mushthafa as-Siba’i, yang pada
umumnya sepakat dengan bantahan as-Samahi dan al-Mu’allimi, mengemukakan
argument lain. Dia menyalahkan abu Rayyah yang tidak menyebutkan riwayat lain,
yang juga dikemukakan dalam Ibn Katsir, dimana ‘Umar mengizinkan Abu Hurairah
untuk meriwayatkan hadis lagi. Bunyi riwayat itu seperti ini. Abu Hurairah
berkata: “sebuah hadis dariku sampai kepada Umar. ‘Umar memanggilku, lalu
berkata: “apakah kamu bersama kami, ketika kami ada di rumah si Fulan bersama
Rasulullah? Aku menjawab: “Ya, dan aku sudah tahu kenapa engkau menanyakan hal
ini.” ‘Umar berkata: “Kenapa aku Tanya engkau?” Kataku: Rasulullah pada hari
itu berkata: “Barangsiapa berkata dusta tentang aku, berarti dia mempersiapkan
bagi dirinya sendiri sebuah tempat duduk di neraka.” ‘Umar berkata: “Baiklah,
silakan meriwayatka hadis.”
Riwayat lain dari Ibn Katsir
dikutip oleh Abu Rayyah. Riwayat ini menyebutkan bahwa ‘Umar mengancam Abu
Hurairah, dengan kata-kata: “Janganlah meriwayatkan dari Rasul Allah, kalau
tidak, aku akan memulangkanmu ke tanah Daws. As-Samahi mengatakan bahwa ‘Umar
khawatir masyarakat akan kebingungan membedakan mana yang alquran dan mana yang
hadis; dia selalu berupaya menarik perhatian masyarakat kepada alquran dan
menjauhkan masyarakat dari memperhatikan hadis. As-samahi tidak menafsirkan
pernyataan ‘Umar sebagai semata-mata kata-kata yang keras, yang ditujukan
kepada Abu Hurairah, namun lebih sebagai memperlihatkan kekhawatiran umum ‘Umar
berkenaan dengan hadis. Dia tidak membatasi larangannya mengenai hadis pada Abu
Hurairah saja.
8. MUHAMMAD TAUFIQ SHIDQI
Muhammad
Taufiq Shidqi adalah dokter di penjara Thurra. Di bawah bimbingan Ridha, dia
melakukan studi tentang berbagai masalah pokok teologi.selain beberapa buku
yang bersifat apologetic, dimana dia membandingkan islam dan Kristen satu sama
lain, dan beberapa buku kedokteran. Dia menerbitkan artikel seperti yang telah
disebutkan sebelumnya, yaitu Al-Islam huwal Qur’an wahdahu. Ridha tidak sependapat
dengannya tentang banyak hal. Namun, menurut Ridha, setiap orang berhak
mengungkapkan pendapatnya sendiri.
Shidqi mengikuti satu pola
berpikir dalam artikelnya: dia ingin memperlihatkan bahwa manusia dapat
meninggalkan sunnah, karena ALqur’an telah memberikan berbagai jawaban terhadap
segala persoalan dalam kehidupan, baik kehidupan keagamaan maupun kehidupan
secular. Dengan kata lain, dia mendekati otentisitas dari salah satu sudut yang
digambarkan dalam bab pertama, yaitu sudut hujjiyyah.
Menurut Shidqi, semua orang islam
tidak meragukan keandalan nash alquran, sedangkan terhadap hadis, ada orang
islam yang meragukannya. Alqur’an ditulis pada saat nabi masih hidup, sedangkan
hadis baru ditulis beberapa abad kemudian. Alquran adalah criteria dan petunjuk
abadi bagi segenap zaman; bagi masyarakat zaman sekarang. Sunnah Nabi telah
kehilangan nilainya, dan hanya memiliki arti bagi generasi-generasi pertama
Muslim saja. Dimanakah letak kearifan, Tanya Shidqi, kalau sebagian dari iman
diletakkan dalam alquran, sedangkan sebagian lagi dalam sunnah?shidqi mengutip
Surah 6 ayat 38: “Kami tidak mengabaikan apa pun dalam kitab.” Dan Surah 16
ayat 89: “Dan telah kami turunkan kepadamu kitab yang menjelaskan segalanya.”
Kalau nabi memaksudkan sunnahnya sebagai satu bagian dari agama, yang merupakan
sumber keagamaan yang fundamental bagi umat, tentu Nabi memerintahkan agar
sunnahnya ditulis pada masa hidupnya, dengan cara yang sama seperti yang
dilakukan terhadap Al-qur’an. Kata Shidqi, ada sebagian orang yang beranggapan
bahwa penulisan hadis yang terjadi jauh pada masa kemudian disebabkan rawa
khawatir Nabi dan sahabat-sahabatnya bahwa jika alquran dan sunnah ditulis pada
waktu yang sama maka akan terjadi kekacauan antara alquran dan sunnah. Namun
hal itu tidak masuk akal, piker Shidqi; tidak ada makhluk hidup yang dapat
membuat sesuatu yang menyamai alquran. Tidak mungkin terjadi kekacauan antara
satu ayat alquran dengan yang lain; perbedaannya terlalu jelas.
Muhammad Taufiq Shidqi, Durus
Sunan Al-Kainat, Muhadharat Thibbiya ‘Ilmiyyah Islamiyyah, cetakan ketiga,
Kairo 1354; buku ini mengungkapkan pujian penulis terhadap banyak keputusan
Nabi mengenai pengobatan. Nadanya jauh lebih moderat disbanding karya-karya
sebelumnya. Orang-orang Arab Jahiliyah beranggapan bahwa sakit hanya dapat
terjadi karena adanya orang yang sakit. Namun menurut Shidqi, penyakit itu
sendiri tidak ada, tidak dibawa dari satu orang ke orang lain, tetapi dibawa
oleh mikroba penyakit tu. Orang-orang Arab kuno tidak tahu apa-apa tentang mikroba.
Nabi, dalam kearifannya, memberikan nasehat, seperti yang ditunjukkan riwayat
yang kedua, agar menghindari orang sakit, tetapi jangan sampai orang sakit itu
tidak mendapat perawatan yang baik; dengan mengucapkan kedua sabda itu Nabi
berupaya menghilangkan ketakutan yang berlebihan terhadap penularan yang ada
pada zaman pra-islam dengan arif, didasarkan pada pertimbangan rasional.
Pengikut paling penting dari
Abduh, yaitu Muhammad Rasyid Ridha, juga penganjur gigih ijtihad, meskipun dia
berangsur-angsur jadi lebih konservatif. Di kemudian hari dia mencurahkan
banyak perhatian terhadap literature hadis, dan tiba pada kesimpulan bahwa
banyak hadis yang terdapat dalam kitab-kitab himpunan hadis yang sahih harus
diteliti kembali, karena kritik formal terhadap isnad, seperti yang
dipraktikkan pada abad pertengahan, ternyata tidak mencukupi dalam
pandangannya. Secara keseluruhan, sudut pandang Ridha tidak berbeda dengan
sudut pandang yang dirumuskan oleh seorang sahabat dekatnya, Muhammad Taufiq
Shidqi. Namun Shidqi melangkah terlalu jauh sampai-sampai mengatakan bahwa kaum
muslim modern tidak lagi memerlukan seluruh sunnah Nabi . dia terpaksa harus
menarik kembali pandangan ini karena mendapat tekanan dari Ridha, namun dia
mempertahankan hipotesisnya yang menyebutkan bahwa kebanyakan hadis yang
tertulis dalam kitab-kitab himpunan hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah,
haruslah dikaji ulang.
9. SYAH
WALIYULLAH AL-DAHLAWI
Lahir pada 4 syawal 1114H di
Delhi, India. Wafat 29 Muharram 1176 H. Dia hanya tamatan SD, tapi penuh bakat
sehingga pada masa mudanya menjadi intelektual yang handal.Usia 17 tahun dia
sudah diberi tanggung jawab untuk menjadi kepala sekolah di madrasah. Dia
banyak berguru pada pakar hadis dan fiqih di Hijaz dan Mekkah beberapa tahun,
dan kembali lagi ke kampung asalnya.
Pemikiran al-dahlawi tentang
hadis: bahwa Nabi saw disamping sebagai seorang yang ma’sum juga sebagai
manusia biasa. Perlu dilakukan pemilahan terhadap segala apa yang keluar dari
Nabi saw, mana yang tasyri’ dan mana yang ghairu tasy’ri’. Untuk itu al-Dahlawi
menggolongkan hadis ke dalam dua macam: 1) risalah, dan 2) ghairu risalah.
Tidak semua yang berasal dari
nabi mesti diteladani, melainkan harus dilihat dulu apakah termasuk risalah
atau tidak. Hadis risalah yaitu hadis yang berkaitan dengan aturan ibadah
formal. Sedangkan Hadis ghairu risalah adalah hadis yang berkaitan dengan
kebiasaan-kebiasaan nabi.
Membuat kategori risalah dan
ghairu risalah berdasarkan: Q.S. Al-Hastir:7 dan Al-Kahfi:110. Kriteria
hadis-hadis risalah: 1) Tentang berita-berita ghaib, 2) Ketentuan-ketentuan
ibadah seperti shalat, puasa, dll.
Kriteria hadis-hadis ghairu risalah: 1)
tentang ilmu pengobatan, 2) pertanian, 3) Kebiasaan Nabi sehari-hari (seperti
makan, minum, tidur,dll), 4) kebijakan-kebijakan yang sifatnya temporal, bukan
untuk sepanjang masa.
10. KASIM AMIN
Lahir pada 9 September 1933 di
Malaysia. Karyanya yang membahas tentang hadis adalah Hadis Satu Penilaian
Semula. Pemikirannya tentang hadis:
Hadis bukan wahyu. Para ulama terdahulu menafsirkan kata al-hikmah Q.S.
Al-Baqarah: 129 dengan hadis atau al-sunnah. Sedang bagi Kassim Amin artinya al
Qur’an sendiri. Dia merujuk pada Q.S. Al-Isra:39. Nabi sebagai uswatun hasanah
dalam ibadah bukan dalam hal kebiasaan sehari-hari layaknya manusia (karena itu
terkait dengan budaya setempat, yang boleh jadi tidak sama budayanya dengan
daerah di luar arab), tetapi terkait dengan ibadah mahdhoh (shalat, zakat,
puasa, haji, dll.).
Benang Merah
Pemikiran Hadis Kontemporer
1) Para tokoh kontemporer
sedikit-banyak mempersoalkan otentisitas hadis.
2) Banyak mengkritik persoalan dan
sistem sanad
3) Menitikberatkan pada matan dan rasio.
Baca juga artikel: