فَوَجَدَا
عَبْدًا مِنْ عِبَادِنَا آتَيْنَاهُ
رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَا وَعَلَّمْنَاهُ
مِنْ لَدُنَّا عِلْمًا قَالَ لَهُ
مُوسَى هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَى
أَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا
قَالَ إِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيعَ
مَعِيَ صَبْرًا وَكَيْفَ تَصْبِرُ
عَلَى مَا لَمْ تُحِطْ
بِهِ خُبْرًا قَالَ سَتَجِدُنِي
إِنْ شَاءَ اللَّهُ صَابِرًا
وَلا أَعْصِي لَكَ أَمْرًا
قَالَ فَإِنِ اتَّبَعْتَنِي فَلا
تَسْأَلْنِي عَنْ شَيْءٍ حَتَّى
أُحْدِثَ لَكَ مِنْهُ ذِكْرًا
Artinya :
Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara
hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan
yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami[886]. Musa berkata kepada
Khidhr: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu
yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?" Dia menjawab:
"Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersama aku. dan
bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan
yang cukup tentang hal itu?" Musa berkata: "Insya Allah kamu akan
mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam
sesuatu urusanpun". Dia berkata: "Jika kamu mengikutiku, Maka
janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai aku sendiri
menerangkannya kepadamu".
[886] Menurut ahli tafsir hamba di sini ialah Khidhr, dan
yang dimaksud dengan rahmat di sini ialah wahyu dan kenabian. sedang yang
dimaksud dengan ilmu ialah ilmu tentang yang ghaib seperti yang akan
diterangkan dengan ayat-ayat berikut.
Allah menceritakan tentang ucapan Musa kepada orang ‘alim,
yakni Khidhir yang secara khusus diberi ilmu oleh Allah Ta’ala yang tidak
diberikan kepada Musa, sebagaimana dia juga telah menganugrahkan ilmu kepada
Musa yang tidak dia berikan kepada Khidhir. قال
له موسى هل أتّبعك
“Musa berkata kepada Khidhir: Bolehkah aku mengikutimu.” Yang demikian itu
merupakan pertanyaan penuh kelembutan, bukan dalam bentuk keharusan dan
pemaksaan. Demikian itulah seharusnya pertanyaan seorang pelajar kepada orang
berilmu. Dan ucapan Musa (أتّبعك)
“Bolehkah aku mengikutimu?” yakni menemanimu. (على
أن تعلّمن ممّاعلّمت رشدا
) “supaya engkau mengajarkan kepadaku ilmu yang benar diantara ilmu-ilmu yang
telah diajarkan kepadamu?” Maksudnya, sedikit ilmu yang telah diajarkan Allah Ta’ala
kepadamu agaraku dapat menjadikannya sebagai petunjuk dalam menangani urusanku,
yaitu ilmu yang bermanfaat dan amal shalih. Pada sat itu, Khidhir (قال) “Berkata” kepada Musa: (إنّك لن تستطيع
معي صبرا) “Sesungguhnya kamu
sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku.” Maksudnya, sesungguhnya engkau
tidak akan sanggup menemaniku, sebab engkau akan menyaksikan berbagai
tindakanku yang bertentangan dengan syari’atmu, karena aku bertindak berdasar
ilmu yang diajarkan Allah kepadaku dan tidak dia ajarkan kepadamu. Engkau juga
mempunyai ilmu diajarkan Allah kepadamu tetapi tidak dia ajarkan kepadaku.
Dengan demikian, masing-masing kita dibebani berbagai urusan dari-Nya yang
saling berbeda, dan engkau tidak akan sanggup menemaniku. (وكيف تصبرعلى مالم
تحط به خبرا) “Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu
yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?” Aku
mengetahui bahwa kamu akan menolak apa yang kamu tidak mengetahui alasannya.
Tetapi aku telah mengetahui hikmah dan kemaslahatan yang tersimpan didalamnya,
sedang kamu tidak mengetahuinya. Musa berkata: (ســتجدني
إن شاءالله صابراً) “Insya Allah engkau akan mendapati aku
sebagai seorang yang sabar,” yakni atas apa yang aku saksikan dari beberapa
tindakanmu. (ولا أعصي لك أمرا)
“Dan aku tidak akan menentangmu dalam suatu urusan apanpun.” Maksudnya, dan aku
tidak menentangmu mengenai sesuatu. Pada saat itu, Khidhir memberikan syarat
kepada Musa: (فإن آتّبـعـتني فلاتسئلني عن شيئ) “Ia berkata: Jika kamu mengikutiku, maka
janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun.” Yakni, dalam taraf
pertamanya. (حـتّى أحدث لك منه
ذ كــرا) “Sampai aku sendiri yang menjelaskannya
kepadamu.” Yakni, sehingga aku yang mulai memberikan penjelasan kepadamu
sebelum kamu bertanya kepadaku.
فَوَجَدَا
عَبْدًا مِنْ عِبَادِنَا آتَيْنَاهُ
رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَا وَعَلَّمْنَاهُ
مِنْ لَدُنَّا عِلْمًا
(Lalu mereka berdua bertemu dengan seorang hamba di antara
hamba-hamba Kami) yaitu Khidhir (yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari
sisi Kami) yakni kenabian, menurut suatu pendapat, dan menurut pendapat yang
lain kewalian, pendapat yang kedua inilah yang banyak dianut oleh para ulama
(dan yang telah Kami ajarkan kepadanya dari sisi Kami) dari Kami secara
langsung (ilmu). Lafadz 'ilman menjadi Maf'ul Tsani, yaitu ilmu-ilmu yang
berkaitan dengan masalah-masalah kegaiban. Imam Bukhari telah meriwayatkan
sebuah hadis, bahwa pada suatu ketika Nabi Musa berdiri berkhutbah di hadapan
kaum Bani Israel. Lalu ada pertanyaan, "Siapakah orang yang paling
alim?" Maka Nabi Musa menjawab, "Aku". Lalu Allah menegur Nabi
Musa karena ia belum pernah belajar (ilmu gaib), maka Allah menurunkan wahyu
kepadanya, "Sesungguhnya Aku mempunyai seorang hamba yang tinggal di
pertemuan dua laut, dia lebih alim daripadamu". Musa berkata, "Wahai
Rabbku! Bagaimanakah caranya supaya aku dapat bertemu dengan dia". Allah
berfirman, "Pergilah kamu dengan membawa seekor ikan besar, kemudian ikan
itu kamu letakkan pada keranjang. Maka manakala kamu merasa kehilangan ikan
itu, berarti dia ada di tempat tersebut". Lalu Nabi Musa mengambil ikan
itu dan ditaruhnya pada sebuah keranjang, selanjutnya ia berangkat disertai
dengan muridnya yang bernama Yusya bin Nun, hingga keduanya sampai pada sebuah
batu yang besar. Di tempat itu keduanya berhenti untuk istirahat seraya
membaringkan tubuh mereka, akhirnya mereka berdua tertidur. Kemudian ikan yang
ada di keranjang berontak dan melompat keluar, lalu jatuh ke laut. Lalu ikan
itu melompat mengambil jalannya ke laut itu. (Q.S. Al Kahfi, 61) Allah menahan
arus air demi untuk jalannya ikan itu, sehingga pada air itu tampak seperti
terowongan. Ketika keduanya terbangun dari tidurnya, murid Nabi Musa lupa
memberitakan tentang ikan kepada Nabi Musa. Lalu keduanya berangkat melakukan
perjalanan lagi selama sehari semalam. Pada keesokan harinya Nabi Musa berkata
kepada muridnya, "Bawalah ke mari makanan siang kita", sampai dengan
perkataannya, "lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut dengan
cara yang aneh sekali". Bekas ikan itu tampak bagaikan terowongan dan Musa
beserta muridnya merasa aneh sekali dengan kejadian itu.
قَالَ لَهُ مُوسَى هَلْ
أَتَّبِعُكَ عَلَى أَنْ تُعَلِّمَنِ
مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا
(Musa berkata kepada Khidhir, "Bolehkah aku mengikutimu
supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah
diajarkan kepadamu?)" yakni ilmu yang dapat membimbingku. Menurut suatu
qiraat dibaca Rasyadan. Nabi Musa meminta hal tersebut kepada Khidhir. karena
menambah ilmu adalah suatu hal yang dianjurkan.
قَالَ إِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيعَ
مَعِيَ صَبْرًا
(Dia menjawab, "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak
akan sanggup sabar bersamaku").
وَكَيْفَ
تَصْبِرُ عَلَى مَا لَمْ
تُحِطْ بِهِ خُبْرًا
(Dan bagaimana kamu dapat bersabar atas sesuatu yang kamu
belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?) di dalam hadis yang
telah disebutkan tadi sesudah penafsiran ayat ini disebutkan, bahwa Khidhir
berkata kepada Nabi Musa, "Hai Musa! Sesungguhnya aku telah menerima ilmu
dari Allah yang Dia ajarkan langsung kepadaku; ilmu itu tidak kamu ketahui.
Tetapi kamu telah memperoleh ilmu juga dari Allah yang Dia ajarkan kepadamu,
dan aku tidak mengetahui ilmu itu". Lafal Khubran berbentuk Mashdar
maknanya kamu tidak menguasainya, atau kamu tidak mengetahui hakikatnya.
قَالَ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ
صَابِرًا وَلا أَعْصِي لَكَ
أَمْرًا
(Musa berkata, "Insya Allah kamu akan mendapati aku
sebagai seorang yang sabar, dan aku tidak akan menentang) yakni tidak akan
mendurhakai (kamu dalam sesuatu urusan pun)" yang kamu perintahkan
kepadaku. Nabi Musa mengungkapkan jawabannya dengan menggantungkan kemampuannya
kepada kehendak Allah, karena ia merasa kurang yakin akan kemampuan dirinya di
dalam menghadapi apa yang harus ia lakukan. Hal ini merupakan kebiasaan para
nabi dan para wali Allah, yaitu mereka sama sekali tidak pernah merasa percaya
terhadap dirinya sendiri walau hanya sekejap, sepenuhnya mereka serahkan kepada
kehendak Allah.
فَإِنِ
اتَّبَعْتَنِي فَلا تَسْأَلْنِي عَنْ
شَيْءٍ حَتَّى أُحْدِثَ لَكَ
مِنْهُ ذِكْرًا
(Dia mengatakan, "Jika kamu ingin mengikuti saya, maka
janganlah kamu menanyakan kepada saya) Dalam satu qiraat dibaca dengan Lam
berbaris fatah dan Nun bertasydid (tentang sesuatu) yang kamu ingkari menurut
pengetahuanmu dan bersabarlah kamu jangan menanyakannya kepadaku (sampai aku
sendiri menerangkannya kepadamu)" hingga aku menuturkan perihalnya
kepadamu berikut sebab musababnya. Lalu Nabi Musa menerima syarat itu, yaitu
memelihara etika dan sopan santun murid terhadap gurunya
ADS HERE !!!