A. PENDAHULUAN
Diskursus yang berkembang selama ini
terkait dengan kajian hadis adalah seputar keotentikan hadis, dan kajian atas
kesahihan atau keda’ifan hadis. Sependek pembacaan penulis, sejarah hanya
mencatat sedikit sekali polemik yang mengarah pada keraguan atas kehujjahan
hadis, atau isu penolakan terhadap otoritas hadis dalam hukum dan syariat Islam.
Penolakan beberapa orang terhadap otoritas hadis secara keseluruhan, sama
sekali tidak berpengaruh terhadap eksistensi hadis dan khazanah keilmuan islam
lainnya. Hal ini dikarenakan lemahnya argumentasi yang digunakan, jika kita
tidak mau menyebutnya sebagai sebuah kekonyolan.
Dengan mengurut kronologis sejarah,
kita akan dapati adanya klaim penolakan hadis sebagai hujjah dari beberapa golongan
atau sekte pada abad ke I hingga III Hijriyah, dan masa kontemporer sekarang
ini. Namun klaim itu beserta argumentasinya terbantahkan. Dalam sejarah kita
dapati fakta bahwa pada masa sahabat sudah ada orang-orang yang dipersangkakan
menolak kehujjahan hadis, namun sebenarnya mispersepsi terkait data sejarah
terkait adanya sikap penerimaan kabar yang diasosiasikan kepada rasulullah, dan
perbedaan penetapan kriteria hadis yang diterima menurut masing-masing
kelompok, telah menimbulkan kesan adanya penolakan terhadap hadis sebagai
hujjah.
Misalnya pada pertengahan abad I
hijriah, kita dapati klaim yang menyatakan bahwa golongan Khawârij menolak
hadis yang diriwayatkan oleh mayoritas sahabat yang menyetujui proses arbitrase
antara ’Alî bin Abû Thâlib dengan Mu’âwiyah. Namun di waktu yang sama, mereka
masih menerima hadis yang diriwayatkan oleh sahabat yang menurut penilaian
mereka masih ”belum murtad”. Al-Siba’i menuturkan bahwa Khawarij dengan
berbagai kelompoknya yang berbeda-beda itu sebelum terjadinya perang saudara
antar sahabat, mereka menganggap semua sahabat nabi sebagai orang-orang yang
dapat dipercaya. Mereka kemudian mengkafirkan ‘Ali, ‘Utsman, orang-orang yang
mengikuti ‘perang unta’, dua utusan perdamaian, orang-orang yang menerima
keputusan perdamaian (tahkim), dan orang-orang yang membenarkan salah seorang
atau dua orang utusan perdamaian tadi. dengan demikian mereka menolak hadis
yang diriwayatkan oleh mayoritas sahabat setelah terjadinya fitnah. Namun
pendapat al-Siba’i ini perlu ditinjau kembali, sebab yang jelas kitab-kitab
tulisan orang khawarij telah punah bersamaan dengan punahnya golongan itu,
kecuali golongan ‘Ibadiyah yang masih termasuk golongan Khawarij. Berdasarkan
kitab-kitab yang ditulis oleh kelompok ini (‘Ibadiyah), kita dapati bahwa
mereka menerima hadis nabi, dan mereka meriwayatkan hadis yang diriwayatkan
melalui sahabat ‘Ali, ‘Utsman’ ’Aisyah, Abu Hurayrah, Anas bin Malik, dan
lain-lain. Oleh karena itu, pendapat yang mengatakan bahwa seluruh golongan Khawarij
menolak hadis yang diriwayatkan para sahabat nabi, baik sebelum maupun sesudah
peristiwa tahkim, adalah tidak benar. Berdasarkan tulisan-tulisan al-Syafi’i,
al-Khudari menarik kesimpulan bahwa golongan yang menolak hadis secara
keseluruhan adalah Mu’tazilah. al-Siba’i tampaknya juga cenderung kepada
pendapat ini. Namun sebenarnya, seperti yang dituturkan sendiri oleh al-Siba’i ada
kesimpangsiuran dalam keterangan para ulama tentang sikap Mu’tazilah terhadap
sunnah, apakah mereka menerimanya secara keseluruhan, atau malah menolaknya
secara keseluruhan, atau hanya menerima yang mutawatir dan menolak yang ahad.
Golongan Syi’ah yang masih eksis di
dunia sekarang ini umumnya kelompok Itsna ‘Asyariyah yang merupakan madzhab
resmi negara Iran
hingga sekarang. Mereka menerima dan memakai hadis nabi, hanya saja ada
anggapan bahwa mayoritas sahabat setelah nabi wafat sudah murtad, kecuali
sekitar tiga sampai sebelas orang saja. Maka timbul dugaan mereka tidak mau
menerima hadis yang diriwayatkan oleh mayoritas sahabat tadi. Mereka hanya
menerima hadis yang diriwayatkan oleh ahl
al-bayt (keturunan Rasulullah). Walau al-Suyuti sempat mencatat
pengingkaran ekstrimis Syi’ah (al-Rafidah) dan kaum Zindiq terhadap kehujjahan
hadis secara totalitas. Dari sini dapat diambil kesimpulan, bahwa sejak masa
lalu umat Islam sepakat untuk menerima hadis dan menjadikannya sebagai sumber
hukum Islam yang wajib dipatuhi, hanya saja di antara mereka ada yang
menerimanya dengan beberapa syarat, seperti tiga kelompok yang telah disebutkan
di atas. Pensyaratan terhadap penerimaan hadis juga ada dalam madzhab maliki
yang mensyaratkan tidak adanya pertentangan hadis dengan ‘amal ahl al-Madinah
(tradisi penduduk kota
madinah). Demikian juga madzhab Abu Hanifah yang mensyaratkan tiga hal: tidak
bertentangan dengan qiyas, tidak ditentang sendiri oleh perawinya, dan tidak
masuk dalam kategori ta’umm bihi al-balwa (menyangkut hal ihwal masyarakat). Kondisi
yang mengesankan adanya penolakan terhadap kehujjahan hadis ini, lenyap pada
akhir abad ketiga. Penolakan ini muncul kembali pada abad ketiga belas hijriyah
yang lalu, akibat pengaruh penjajahan barat.
Sesudah abad kedua hijriyah, tidak
ada catatan sejarah yang menyebutkan kelompok muslim mana yang tidak menerima
hadis sebagai hujjah. Sementara mereka yang menolak hadis tempo dulu, tepatnya
pada abad kedua hijriyah, sudah tidak ada lagi. Sesudah abad kedua itu, sampai
kira-kira sebelas abad berikutnya tidak terdengar adanya orang yang menolak
hadis sebagai hujjah. Barulah setelah negara-negara barat menjajah
negeri-negeri Islam, mereka menyebarkan benih-benih busuk untuk melumpuhkan
kekuatan Islam. Pada saat itu di Irak muncul orang yang menolak hadis.
Di mesir kondisi yang mengesankan
adanya penolakan hadis muncul pada masa Muhammad ‘Abduh. Ini menurut kesimpulan
Abu Rayyah, apabila hal itu benar. Pada tahun 1929, Ahmad Amin menulis buku Fajr al-Islam, di mana ia membahas hadis
nabi seraya mencampuradukkan antara yang benar dan yang batil. Sebuah
pembahasan yang justru membuat orang ragu terhadap keotentikan hadis. Para Orientalis sudah lama mencurahkan
perhatian untuk meneliti ilmu-ilmu keislaman. Pada awalnya kajian mereka berkisar pada sejarah
dan sastra Islam. Mereka mulai meneliti hadis nabi pada abad XIX, dan
barangkali orang yang pertama kali meneliti hadis adalah Ignaz Goldziher yang
pada tahun 1890 mempublikasikan hasil penelitiannya yang berjudul
Muhammedanische Studien. Karyanya ini yang kemudian menjadi rujukan utama para
orientalis dalam melakukan kajian atas hadis.
Lebih kurang
empat puluh tahun kemudian, Prof. Schacht melakukan penelitian atas
sumber-sumber hadis dalam bidang Fiqh. Penelitian ini dilakukan selama sepuluh
tahun, yang kemudian dipublikasikan sebagai buku dengan judul The Origins of Muhammadan Jurisprudence.
Dalam karyanya ini, Schacht berkesimpulan bahwa tidak ada satupun hadis nabi
yang sahih (otentik) terutama hadis-hadis fiqh. Buku ini kemudian menjadi
rujukan utama kedua bagi para Orientalis. Dan apabila Goldziher ‘berhasil’
membuat orang ragu terhadap kebenaran hadis nabi, maka Schacht ‘berhasil’
meyakinkan’ orang bahwa apa yang sering disebut hadis itu tidak otentik berasal
dari nabi Muhammad.
Goldziher,
Shacht, Juynbol tidak ”mengusik” otoritas hadis dan kehujjahannya. Goldziher
hanya meragukan otentitas hadis dari Rasulullah. Sementara beberapa pengaji
lainnya menafikan otentisitas itu sama sekali. Logika yang hendak dibangun dari
keraguan terhadap keotentikan hadis cukup sederhana: jika hadis tidak otentik
sebagai ajaran yang bersumber dari Rasulullah, maka tidak mungkin ia dijadikan
sumber ajaran agama.
Yang perlu digarisbawahi adalah fakta bahwa Goldziher dan orientalis lainnya
tidak mengungkit kehujjahan hadis, tetapi lebih pada keotentikannya. Walaupun
jika dilanjutkan, penolakan terhadap keotentikan hadis akan berujung kepada
penolakan terhadap eksistensi hadis itu sendiri. Ketika eksistensi hadis itu
ditolak, maka berhujjah dengannya pun menjadi tertolak.
Sebagai
sumber ajaran agama setelah al Qur’an, al Hadis memiliki kedudukan yang sangat
penting dalam Islam. Namun tidak seperti al Qur’an yang mendapat penjagaan
langsung dari Tuhan (qs. al-Hijr ayat 9), hadis memang menghadapi dilema
seputar keotentikannya. Pasalnya, fakta sejarah membuktikan bahwa semenjak era
pertama Islam, sudah banyak didapati hadis-hadis palsu. Sadar akan pentingnya
hadis dalam Islam, para ulama klasik bahkan sejak zaman sebelum
pengkodifikasian hadis secara massal, telah melakukan kajian hadis dengan
intensif. Mereka berupaya merumuskan konsep yang dapat dijadikan pedoman dalam
menyeleksi hadis. Dengan rumusan itu yang kemudian kita kenal sebagai ’Ulumul Hadits
(ilmu-ilmu hadis), para pengaji hadis dapat mengidentifikasi hadis yang
benar-benar otentik dari Rasulullah dan hadis yang nisbatnya lemah (da’if) atau
yang benar-benar merupakan hadis palsu.
B.
Sejarah Perkembangan
Kajian Matan dan Sanad Hadis
Saat seseorang mengatakan
”hadis”, maka yang terlintas dalam benak adalah gabungan antara sanad dan
matan. Dalam beberapa literatur hadis kita dapati ungkapan hadis yang hanya berupa
matan tanpa sanadnya. Hal ini lumrah dilakukan guna menyingkat dan mempermudah
penyampaian hadis, bukan karena pembenaran atas anggapan yang menyatakan bahwa
hadis adalah matan saja tanpa sanad.
Sanad adalah mata rantai atau silsilah
keguruan yang menghubungkan seseorang dengan gurunya hingga sampai kepada Rasulullah
(atau dalam kasus hadis mawquf sisilah itu berhenti pada sahabat, dan pada
hadis maqtu’ silsilah itu terhenti pada tabi’in) yang menjadi pengantar bagi
matan hadis. Sementara matan adalah isi atau kandungan hadis.
Sanad sering dianggap sebagai anugerah
agung yang hanya dimiliki oleh umat Rasulullah dan tidak dimiliki umat agama
lain. Dengan sanad, otentitas kitab suci al Quran dan al Hadis dapat dijaga. Di
waktu yang sama kitab suci agama lain ternodai oleh oknum-oknum pimpinan
agamanya yang menyisipkan banyak tambahan, dan mengurangi banyak keterangan
dalam kitab suci mereka. Ketiadaan sanad membuat mustahil penelusuran untuk
mengetahui mana ”matan” yang otentik dan mana ”matan” yang palsu dalam kitab
suci mereka. Ibn al-mubarak menilai sanad sebagai bagian dari agama. Tanpa
sanad, tiap orang akan berkata-kata semaunya, dan kemudian mengklaim bahwa
perkataan itu adalah hadis. Muhammad bin Sirin, al-dahhak bin Muzahim, dan Malik
bin Anas juga menyatakan bahwa hadis adalah bagian dari agama, dan kita harus
melihat dari siapa agama ini kita ambil.
Meneliti dari mana ”agama” diambil,
sama dengan meneliti pembawa agama itu sendiri. Kajian atas pembawa kabar
adalah istilah sederhana dari kajian sanad. Kajian kesahihan hadis biasanya
diawali dengan kajian atas sanadnya. Ketika kualitas sanadnya sudah ditetapkan,
penilaian hadis itu linear (sama) dengan penilaian atas sanadnya itu. Bahkan
ada kecenderungan jika sanad hadis telah ditetapkan sahih, sementara matannya
bermasalah, maka matannya yang akan ditakwilkan.
Sebagai sebuah alat ukur penilaian
kualitas hadis, para ulama merumuskan kriteria kesahihan hadis, yaitu
ketersambungan sanad, seluruh perawinya bersifat adil dan dabt (perawi yang
memiliki kedua sifat ini disebut tsiqah), tidak ada syadz dan ’illah. Kelima
kriteria ini diterapkan pada kajian sanad, dan hanya kriteria keempat dan
kelima yang digunakan dalam kajian matan.
Secara zahir, kajian sanad memang
lebih banyak menyita perhatian orang-orang yang meneliti hadis dari pada kajian
atas matan. Hal ini bisa jadi karena kondisi matan yang jumlahnya statis
sementara sanad bersifat dinamis dan cenderung bertambah banyak sejalan dengan
banyaknya jumlah perawi yang diteliti. Semakin panjang jalur periwayatan sebuah
hadis, semakin banyak pula perawi yang dikaji. Ditambah lagi adanya fakta
banyaknya sebuah matan yang memiliki sanad lebih dari satu.
Sebenarnya, kajian hadis yang
dilakukan tidak diprioritaskan pada sanadnya, sebagaimana yang dipersangkakan
beberapa orang, namun juga dilakukan pada matannya. Hanya saja objek kajian
yang lebih banyak memang ada pada sanad hadis, sehingga timbul kesan bahwa
kajian sanad memang lebih mendominasi dalam kajian hadis.
Kajian atas sanad dan matan sudah ada
di masa awal Islam. Beberapa pakar semisal Ali Mustafa Yaqub menyatakan bahwa
kajian berupa kritik matan hadis muncul lebih dahulu dibanding kritik sanadnya.
Menurutnya, kajian atas matan sudah dilakukan pada zaman Rasulullah, sementara
kajian sanad baru diberlakukan pasca peristiwa terbunuhnya khalifah ’Utsman bin
’Affan pada tahun 35 h. Pendapat Ali Mustafa ini masih dapat diperdebatkan, di
mana kajian sanad dalam bentuk yang sederhana telah dilakukan oleh Rasulullah. Misalnya
pujian Rasulullah terhadap ’Abdullah bin Umar yang disampaikan kepada Hafsah
salah seorang istri beliau yang juga saudara dari ’Abdullah bin Umar itu
sendiri, ”Sesungguhnya Abdullah bin Umar adalah seorang laki-laki yang shaleh”.
Di waktu yang lain, Rasulullah juga
menilai’Uyaynah bin Hisn bin Hudzayfah bin Badr al-Fazari sebagai seorang yang
buruk peringainya:
“Ia adalah seburuk-seburuk saudara kaumnya, dan seburuk-buruknya anak kaumnya”.
Penilaian baik dan buruk ini seseorang, dalam disiplin ilmu hadis disebut jarh
wa ta’dil. Hal ini adalah pokok penting dalam melakukan kajian hadis.
Pada generasi sahabat, kajian atau
kritik sanad tidak diterapkan terkait dengan ’adalah dan integritas moral,
karena mereka sudah mendapatkan penilaian baik (ta’dil) dari Allah. Kritik
dilakukan pada masa itu terkait akurasi berita atau riwayat. Karena lupa dan
keliru adalah sifat manusiawi yang dapat menimpa orang-orang terpercaya seperti
para sahabat. Untuk menyikapi adanya kemungkinan kekeliruan dan kealpaan, para
sahabat melakukan konfirmasi dan verifikasi atau yang dalam ilmu hadis disebut mu’aradah.
Al-Dzahabi menyatakan bahwa Abu Bakar
adalah orang yang pertama kali berhati-hati dalam menerima khabar atau
periwayatan hadis. Al-Hakim malah menjulukinya sebagai orang yang pertama
menafikan kedustaan atas Rasulullah. Predikat ini layak diberikan karena Abu Bakar
melakukan mu’aradah terhadap informasi dan kabar yang diasosiasikan kepada Rasulullah.
Misalnya saat memutuskan bagian nenek dalam harta pusaka (warisan), Abu Bakar
menanyakan sahabat yang pernah mendengar keputusan Rasulullah terkait masalah
tersebut. Al-Mughirah menyatakan bahwa dirinya pernah mendengar Rasulullah
memberikan bagian seperenam. Abu Bakar tidak semerta-merta menerima riwayat
ini. Ia menanyakan apakah ada sahabat lain mendengar riwayat ini. Kemudian Muhammad
bin Maslamah menyatakan dirinya mengetahui hal itu dari Rasulullah. Maka Abu Bakar
pun memutuskan perkara warisan ini berdasarkan riwayat al-Mughirah yang
dikukuhkan oleh ibn Maslamah.
Kritik sanad yang menitikberatkan pada
sisi moralitas perawi atau ’adâlah baru diberlakukan pasca kemangkatan khalifah
’Utsman, sebagaimana yang disampaikan oleh ibn Sirin (w. 110 h), bahwa pada
awalnya orang tidak mempertanyakan pembawa berita (perawi). Dan baru setelah
terjadi ”fitnah”, orang-orang mulai menanyakan integritas moral individu orang
yang membawa berita. Seakan muncul bersamaan dengan kajian sanad, kajian matan
hadis juga sudah ada di zaman Rasulullah. Kajian atas matan ini dilakukan bukan
untuk mengkritisi muatan dan kandungan matan tersebut, atau mengkritisi ajaran
yang disampaikan oleh Rasulullah, tetapi untuk memperjelas matan dan untuk
memastikan maksud dari ajaran yang terkandung di dalamnya.
Umar bin al-Khattab seringkali
bergantian dengan tetangganya dalam mengikuti pengajian yang diberikan Rasulullah.
Suatu saat tetangganya itu mengetuk pintu rumahnya dengan keras, dan menyatakan
bahwa ada kejadian yang luar biasa. ’Umar mengira ada ada tentara negeri Gassan
yang menyerang kaum muslimin. Namun tetangganya menyatakan bahwa ada hal yang
lebih besar dari pada itu, yaitu bahwa Rasulullah telah menceraikan
istri-istrinya. Mendegar kabar ini, segera ’Umar berangkat menghadap rasulullah
untuk mengkonfirmasi kebenaran berita itu. Rasulullah kemudian menjelaskan
bahwa beliau hanya meng-ila (tidak mengumpuli istri) selama satu bulan.
Kemudian dengan seiring perjalanan
waktu, kajian atas sanad dan matan hadis semakin berkembang dan matang secara
epistemologis. Hal ini sebagai jawaban atas banyaknya hadis palsu yang beredar.
Keprihatinan yang mendalam di kalangan ulama terhadap aktivitas pemalsuan
hadis, mendorong mereka membakukan standar kesahihan hadis. Kemudian berlanjut
kepada proses atau tradisi pentakhrijan hadis.