A.
Pendahuluan
Cara Periwayatan Hadits. Rasulullah
SAW telah menganjurkan kepada para sahabatnya untuk menghafal hadits beliau dan
menyampaikannya kepada yang lain. Beliau selalu mendoakan kepada mereka yang
menjalankan “the great mission” tersebut mudah-mudahan memperoleh kebahagiaan
hidup di dunia dan keni’matan di akhirat. Rasulullah menginstruksikan kepada
para umatnya agar selalu menyampaikan hadits-haditsnya dan melarang untuk
berbuat dusta kepadanya. “sampaikan tentang diriku kepada yang lain walaupun
hanya seayat”. “sesungguhnya berdusta kepadaku tidak sama dengan berdusta
kepada orang lain. Maka siapa yang berdusta kepadaku, silakan menempati tempat duduknya di
neraka”.
Untuk mengemban misi agung tersebut, para sahabat sangat giat untuk
menghafal hadits Rasulullah dalam hati mereka, dan menyampaikannya kepada
generasi berikutnya sebagimana mereka menerima hadits tersebut dari Rasulullah,
mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari sehingga mereka selalu meneliti
dan berhati-hati dalam meriwayatkan hadits Rasulullah dan mereka tidak menerima
riwayat dari orang lain kecuali bias dipercayai dan mampu memberikan ketenangan
jiwa dan naluri mereka. Di saming hal tersebut di atas, dengan kekuatan tenaga
dan waktunya mereka menyebarluaskan hadits Rasulullah di tempat-tempat yang
telah dikuasai Islam pada masa pemerintahan “al-Kkhulafa al-Rasyidun” dan
pemerintahan “Tabi’in besar” sehingga pada akhirnya daerah-daerah tersebut
merupakan sebuah “pusat keagamaan” yang mempunyai pengaruh besar
terhadap perkembangan hadits. Fenomena seperti ini memiliki dampak timbulnya
hadits-hadits palsu, sehingga para ulama hadits dalam meriwayatkan dan menerima
hadits sangat berhati-hati.
Para sahabat dalam meriwayatkan hadits Rasulullah ada dua macam :
- Kadang-kadang
mereka meriwayatkan hadits Rasulullah dengan lafadz aslinya yaitu menurut
lafadz yang mereka terima dari Rasulullah.
- kadang-kadang
mereka meriwayatkannya dengan maknanya saja, yakni mereka meriwayatkan
maknanya bukan lafadznya, karena mereka tidak hafal lafadznya yang asli
lagi dari Rasulullah.
Berbeda dengan periwayatan Al-Qur’an di mana dalam meriwayatkan Al-Qur’an
mereka harus hafal lafadz dan maknanya yang asli dan sedikitpun tidak boleh
diadakan perubahan dalam periwayatan tersebut. Karena susunan lafadz Al-Qur’an
merupakan mu’jizat dari Allah yang tidak seorang pun dapat merubah dan
mengganti lafadz-lafadznya meskipun dengan menggunakan sinonimnya. Dengan
demikian hadits yang saat ini kita terima terdapat hadits-hadits yang
diriwayatkan dengan beberapa lafadz, lantaran para sahabat meriwayatkannya dengan
secara makna.
B. Periwayatan Anak Kecil, Orang Kafir dan Orang
Fasik
Para Muhaditsin berselisih paham tentang sah atau tidaknya periwayatan
hadits yang dilakukan oleh anak-anak yang belum dewasa, orang yang masih dalam
kekafiran dan oleh seorang rawi yang masih dalam keadaan fasik di saat ia
menerima hadits dari Rasulullah. Para ulama hadits berpendapat bahwa seseorang
yang menerima hadits sewaktu masih anak-anak atau masih dalam keadaan kafir
atau dalam keadaan fasik dapat diterima riwayatnya apabila hadits tersebut
disampaikannya setelah masing-masing dewasa, memeluk agama Islam dan bertaubat.
Diterimanya periwayatan hadits oleh anak-anak yang belum dewasa karena ijma
mereka yang berpendapat bahwa seluruh umat Islam tidak ada yang membantah dan
tidak ada yang membeda-bedakan riwayat-riwayat para sahabat yang diterima sebelum
dan sesudah mereka dewasa. Banyak para sahabat yang menerima hadits sewaktu
mereka belum dewasa seperti Hasan dan Husain bin Abi Thalib, Abdullah bin
Abbas, Nu’man bin Basyir dan lain sebagainya. Namun mereka berbeda pendapat
tentang batas minimal umur anak tersebut yang bias dibenarkan dalam periwayatan
hadits tersebut. Jumhur al-Muhaditsin berpendapat bahwa batas umur minimalnya 5
tahun sebab dari umur inilah anak-anak mulai menginjak masa “tamyiz” di mana
seorang anak sudah mampu membedakan antara kebenaran dan kebatilan. Imam Yahya
bin Main menetapkan bahwa batas seseorang menjadi dewasa adalah dengan
tercapainya umur 15 tahun dengan sandaran hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu
Umar bahwa pada saat perang uhud ia dihadapkan ke Rasulullah dalam usia 14 tahun.
Dan Rasulullah tidak memperkenankannya untuk mengikuti perang tersebut. Akan
tetapi ketika ia berumur 15 tahun Rasulullah mengizinkan beliau untuk mengikuti
perang khandaq.
Diperbolehkannya menerima hadits dari orang kafir sebelum ia masuk Islam
para ulama hadits berpedoman kepada hadits yang diriwayatkan oleh Jubair bin
Muth’im bahwa ia teleh mendengar Nabi Muhammad membaca surat al-Thur pada saat
maghrib. Jubair mendengar hadits tersebut
ketika ia tiba di Madinah untuk menyelesaikan urusan tawanan perang badr dan ia
masih dalam keadaan kafir. Sedangkan
penerimaan riwayat hadits oleh orang fasik Ibnu Hajar berpedoman pada qiyas
“bab al-aula”. Artinya, apabila penerimaan riwayat orang kafir yang kemudian
disampaikannya setelah ia memeluk agama Islam dapat diterima, apalagi hadits
yang diriwayatkan oleh orang fasik yang disampaikannya setelah ia bertaubat dan
diakui sebagai orang yang adil, tentu lebih dapat diterima. Sedangkan
penerimaan riwayat orang gila tetap tidak diterima walaupun ketika meriwayatkannya ia dalam keadaan sehat,
lantaran di saat gila ia kehilangan kesadarannya sehingga ia tidak lagi
dikatakan sebagai orang yang dlabith.
C. MACAM-MACAM
CARA MENERIMA RIWAYAT
Seorang Rawi
hadits dalam menerima hadits, ia menggunakan beberapa cara, di antaranya :
- Mendengar sendiri dari perkataan
gurunya, baik secara didiktekan maupun dengan cara lain, dan baik dari
hafalannya atau pun dari tulisannya.
Menurut para ulama hadits cara tersebut
merupakan cara yang tinggi nilainya. Karena di masa Rasulullah cara inilah yang
digunakannya, di mana para sahabat mendengarkan apa yang dikatakan oleh
Rasulullah. Dan dengan cara ini pula, hadits Rasulullah dapat terpelihara dari
kekeliruan dan kelupaan serta mendekati kebenaran lantaran setelah selesai
mendengarkan hadits dari Rasulullah para sahabat saling mencocokkan satu sama
lain.
Menurut para ulama hadits pula bahwa menerima
hadits dengan cara mendengarkan pengajaran hadits dari seorang guru dari
belakang hijab tetap dianggap sah selagi berkeyakinan bahwa suara yang didengar
itu benar-benar suara gurunya yang dimaksud. Banyak para sahabat yang
mendengarkan hadits-hadits Rasulullah dari Aisyah dan isteri-isteri Rasulullah
dari belakang tabir dan kemudian mereka meriwayatkannya dengan berpedoman
kepada suara yang telah mereka dengar, sedangkan Syu’bah bin Al-Hajjaj tidak
menerima riwayat orang yang hanya mendengar dari suaranya saja tanpa melihat
ujud si pembicara dengan alasan adanya
kemungkinan bahwa suara tersebut adalah suara setan.
Rasulullah pernah memerintahkan para
sahabatnya untuk berpedoman kepada suara orang yang tidak tampak dari
penglihatan sebagaimana hadits beliau :
ان بلالا ينا دي بليل فـكلوا واشـربوا
حـتى ينادى ابن ام مكـتوم
“Sesungguhnya
Bilal pernah melaksanakan adzan pada malam hari; karenanya ( Rasulullah berkata kepada para
sahabatnya ) “hendaklah kalian makan dan minum sehingga Ibnu Ummi Maktum
membacakan adzan”.
Adapun
lafadz-lafadz yang sering dipergunakan oleh seorang rawi dalam meriwayatkan
hadits atas dasar pendengaran dari gurunya adalah : أخبرني ؛ أخبرنا ( seseorang telah
mengabarkan kepadaku/ kami ) dan حـد ثني ؛ حـدثـنا ( seseorang telah
bercerita kepadaku / kami ) serta lafadz سـمـعـت ؛ سـمـعـنا ( aku telah mendengar /
kami telah mendengar ).
- Seorang
rawi membacakan hadits dihadapan gurunya, baik ia sendiri yang membacanya
ataupun orang lain yang membacanya sedang dia mendengarkannya.
Cara
periwayatan hadits tersebut dianggap sah dan periwayatan yang berdasarkan cara
tersebut dapat diamalkan. Lafadz-lafadz yang sering digunakan untuk
menyampaikan hadits-hadits Rasulullah dengan cara tersebut adalah : قـرأت عـليه ( Aku telah membacakan di
hadapannya ) , قـرئ عـلي فـلا ن وأنـا أسـمـع ( dibacakan oleh
seseorang di hadapannya ( seorang guru ) sedang aku mendengarkannya ) dan حـد ثـنا أو أخـبرنا قـرأة عـليه (seseorang telah
menceritakan / mengabarkan kepadaku dengan cara membaca di hadapan gurunya)
- Dengan
cara Ijazah, yaitu pemberian izin dari seseorang kepada orang lain untuk
meriwayatkan hadits darinya, atau kitab-kitabnya.
Para ulama hadits berselisih pendapat dalam periwayatan
hadits dengan cara seperti itu. Kebanyakan para muhaditsin tidak memperkenankan
meriwayatklan hadits dengan cara ijazah dengan alasan bahwa seandainya
meriwayatkan hadits boleh dengan cara ijazah, maka tuntutan pergi untuk mencari
hadits itu gugur dengan sendirinya.
Sedangkan ulama hadits yang lain memperkenankan meriwayatkan hadits
dengan cara ijazah dan mengamalkannya.
Sistem periwayatan hadits dengan cara ijazah ada tiga
macam, yaitu :
Pertama Ijazah untuk meriwayatkan sesuatu
yang tertentu kepada orang yang tertentu pula, misalnya : أجـزت لك رواية الكتاب الفـلانى عـني “Aku mengijazahkan kepadamu untuk
meriwayatkan kitab si Pulan dari saya”. Dan Ijazah seperti ini menurut para
ulama hadits merupakan cara yang paling tinggi nilainya.
Kedua Ijazah untuk meriwayatkan sesuatu
yang tidak tertentu kepada orang yang tertentu seperti, أجـزت لك جـميع مـسموعـاتي أو مـروياتي “Kuijazahkan kepadamu seluruh yang saya dengar
atau yang saya riwayatkan”.
Ketiga Ijazah untuk meriwayatkan sesuatu
yang tidak tertentu kepada orang yang tidak tertentu pula, misalnya أجـزت للمـسلمـين جميع مـسموعاتي “Kuijazahkan
kepada seluruh kaum muslimin apa-apa yang saya dengar semuanya”.
4.
Munawalah ; yaitu seorang guru
memberikan sebuah naskah hadits asli kepada muridnya atau salinan yang sudah
dikoreksi untuk diriwayatkan.
Meriwayatkan hadits
dengan cara munawalah ada dua macam :
Pertama, dengan dibarengi
ijazah. Misalnya setelah seorang guru menyerahkan kitab-kitab hadits yang asli
atau salinannya, kemudian ia mengatakan “Riwayatkanlah dari saya ini. Atau
naskah yang dibacakan seorang murid di hadapan gurunya kemudian dikatakan “itu
adalah periwayatan saya, oleh karena itu riwayatkanlah”. Periwayatan seperti
ini diperkenankan oleh para ulama hadits bahkan ada yang berpendapat bahwa
kebolehan meriwayatkan dengan cara ini merupakan ijma mereka.
Kedua, tanpa dibarengi
ijazah ; yaitu ketika naskah asli atau salinan diberikan kepada muridnya dengan
dikatakan bahwa itu merupakan apa yang didengar dari si Pulan tanpa diikuti
dengan suatu perintah untuk meriwayatkannya. Menurut Ibn Shalah dan Al-Nawawy
bahwa meriwayatkan dengan cara ini tidak dianggap sah oleh para ahli ushul dan
ahli fikh. Mereka mencela para ulama hadits yang membolehkan meriwayatkan
hadits yang diterimanya dengan munawalah tanpa dibarengi ijazah.
Adapun lafadz-lafadz yang sering digunakan untuk memberikan hadits dengan cara
munawalah berbareng dengan ijazah adalah :
هـذا
سـماعي أو روايـتى عـن فـلان فـاروه “ini merupakan hasil
pendengaranku atau periwayatanku dari seseorang, maka riwayatkanlah !”, dan
lafadz-lafadz yang digunakan untuk memberikan hadits dengan cara munawalah yang
tidak dibarengi dengan ijazah : هـذا
سـماعى أو من روايـتى “ini merupakan hasil pendengaranku atau
berasal dari periwayatanku”. Kedua jenis munawalah tersebut diucapakn
bersama-sama dengan memberikan naskah atau salinan hadits kepada muridnya.
Seorang rawi dalam meriwayatkan hadits secara munawalah yang dibarengi ijazah
oleh gurunya sering menggunakan lafadz : أ
نـبـأنـــى ؛ أ نـبـأنــا “seseorang telah memberitahukan kepadaku atau
kepada kami”. Sedangkan apabila tidak dibarengi ijazah oleh gurunya ia
menggunakan lafadz :
نـاو
لـنى ؛ نـا و لـنـا “ seseorang telah
memberikan kepadaku atau kepada kami”
5.
Mukatabah ; yaitu seorang guru menulis sendiri atau
menyuruh orang lain untuk menulis beberapa hadits kepada orang di tempat lain
atau yang ada di hadapannya.
Sebagaimana munawala,
cara mukatabah pun ada yang dibarengi dengan ijazah seperti : أجزت لك مـا كـتبـته اليك ؛ أجـزت مـا كـتـبـت
به اليك “kuizinkan apa-apa yang telah aku tulis
kepadamu” untuk diriwayatkan. Hukum mukatabah bersama ijazah ini sah dan
mempunyai martabat yang kuat seperti munawalah yang dibarengi dengan ijazah.
Sedangkan mukatabah yang tidak dibarengi dengan ijazah seperti jika seorang
guru mengirimkan tulisan atau surat
kepada seorang muridnya diperselisihkan oleh para ulama hadits. Menurut Imam
Al-Mawardy, Al-Amudy, dan Ibn al-Qattan bahwa mukatabah yang tidak
dibarengi dengan ijazah “tidak sah”. Tetapi menurut sebagian para ulama
hadits bahwa mukatabah yang tidak
dibarengi dengan ijazah seorang guru termasuk cara periwayatan yang “sah”.
Sebab nyatanya kita dapat menemukan hal-hal yang semacam itu di dalam
kitab-kitab musnad dan mushannaf. Pada prinsipnya, meriwayatkan hadits dengan
cara mukatabah ini, diperbolehkan apabila seorang yang diberi mukatabah
tersebut mengenal tulisan orang yang memberikannya. Tetapi sebagian ulama
semisal Al-Ghozali mensyaratkan adanya suatu bukti yang meyakinkannya. Sebab tulisan seseorang itu tidak sedikit yang serupa
dengan tulisan orang lain. Terutama setelah munculnya mesin tulis, komputer
seperti yang kita saksikan sekarang ini, tentu sangat sulit untuk mengenal
penulisnya yang asli. Sedangkan menurut Ibn Shalah bahwa jarang sekali
didapatkan tulisan seseorang itu serupa dengan tulisan seseorang yang lain.
Jika yang menulis itu bukan gurunya sendiri, diperlukan syarat kepercayaan si
penulisnya. Adapun lafadz-lafadz yang digunakan untuk menyampaikan hadits
dengan cara mukatabah, ialah : حـد
ثنـى فـلان كتـابة “seseorang telah bercerita kepadaku dengan
surat menyurat” atau أخـبرنى فـلان كتابة “seseorang telah mengabarkan kepadaku dengan
melalui surat” atau كـتب الـي فـلان “seseorang
telah menulis kepadaku”
6.
Wijadah ; yakni seorang rawi
memperoleh tulisan hadits dari orang lain yang tidak diriwayatkannya, baik
dengan lafadza yang sama maupun yang lainnya dari pemilik hadits atau pemilik
tulisan tersebut.
Para ulama memperselisihkan paham tentang mengamalkan
hadits yang diriwayatkan dengan cara ini. Para ahli hadits besar dan
ulama-ulama Malikiyah tidak memperkenankan untuk meriwayatkan hadits dengan
cara seperti ini. Sedangkan pengikut Syafi’i membolehkannya. Ibn Katsir pernah
mengemukakan hadits Rasulullah dengan cara wijadah “Manakah makhluk yang lebih
mengagumkan imannya sampai perkataannya. Satu kaum akan dating sesudahmu yang
mendapatkan mushaf-mushaf untuk diimankan dan diamalkan isinya. Mereka mendapat
pahala lebih besar dari pada kamu”. ( Riwayat Ahmad dan Hakim ). Adapaun lafadz
yang sering digunakan oleh seorang rawi dengan cara mukatabah adalah : قـرأت بـخـط فـلان “saya telah membaca tulisan
seseorang”.
7.
Washiyah ; yakni pesan seorang di
saat ia akan meninggal dunia atau bepergian dengan sebuah kitab supaya
diriwayatkan oleh yang lainnya.
Ibn Sirin membolehkan mengamalkan hadits yang
diriwayatkan dengan cara wasiat, akan tetapi para ulama hadits tidak
membolehkannya apabila yang menerima wasiat tidak mempunyai ijazah dari yang
memberi wasiat. Lafadz-lafadz yang sering digunakan untuk meriwayatkan hadits
dengan cara wasiat adalah : أوصـى
الـي فـلان بـكـتاب قـل فـيه حـد ثـنا الى آخــره “seseorang telah berwasiat kepadaku dengan
sebuah kitab di mana ia mengatakan “telah bercerita kepada kamu si Pulan”.
8.
I’lam ; yaitu pemberitahuan guru
kepada muridnya bahwa hadits yang diriwayatkannya merupakan riwayatnya sendiri
yang telah diterima dari guru seseorang dengan tidak mengatakan dan menyuruh
agar si murid meriwayatkannya.
Hadits yang diriwayatkan dengan cara I’lam tersebut tidak
bisa diterima sebagai sandaran hukum, karena adanya kemungkinan bahwa sang guru
telah mengetahui bahwa dalam hadits tersebut ada cacatnya, baik dari segi matan
maupun dari sisi sanad. Lafadz yang digunakan untuk menyampaikan hadits yang
diterima dengan cara tersebut adalah : أ
عـلـمـنى فـلان قـال حـد ثـنا.......الخ “seseorang telah memberitahukan kepadaku, ia
berkata “telah berkata kepadaku ………”.
Para perawi hadits berbeda-beda cara
dalam menerima hadits dari gurunya. Karena perbedaan cara tersebut, maka
berbeda pula lafadz-lafadz yang digunakan untuk menyampaikan hadits. Hal ini
mengakibatkan kedudukan suatu hadits tersebut. Misalnya suatu hadits yang
diriwayatkan dengan cara seorang rawi mendengar dari gurunya lebih meyakinkan
kepada kita bahwa rawi-rawinya mendengar sendiri dari guru yang pernah
memberikannya dari pada apabila hadits tersebut diriwayatkan dengan cara
“seseorang telah beracerita kepadaku”……
Para pengikut Syafi’i dan ulama-ulama
timur membedakan lafadz-lafadz “haddatsana dengan akhbarana”, di mana lafadza haddatsana
digunakan untuk rawi yang mendengar langsung dari gurunya sedangkan lafadz akhbarana
untuk rawi yang membaca atau menghafal hadits di hadapan gurunya kemudian
gurunya mengiakan.
Ada beberapa macam riwayat yang
digunakan oleh para rawi hadits ketika menerima hadits dari gurunya atau pun di
saat ia menyampaikannya kepada lainnya. Di antara macam-macam riwayat yang ia gunakan adalah :
1. Riwayatul
Aqran
Apabila seorang rawi meriwayatkan
sebuah hadits dari kawan-kawannya yang sebaya usianya, atau yang seperguruan,
maka periwayatan yang demikian disebut dengan “riwayatul aqran”. Berkawan
dalam periwayatan itu kadang-kadang sama-sama sahabat dalam satu sanad dan
untuk satu matan hadits, walaupun mereka bukan dalam satu usia. Seperti hadits
yang diriwayatkan oleh Khalid bin Ma’dan
خـرج عـلينـا رسـول الله صلى الله عليه وسلم وهـو
مـرعـوب مـتـغير اللـون فـقـال : أطـيـعوانى مـادمت فـيكم وعـليكم بـكـتاب الله, فــأحـلــوا حـلا له
وحــرمـوا حـرامــه
“Rasulullah SAW keluar bersama kami dalam
keadaan ketakutan dan berubah roman mukanya seraya bersabda : “Ta’atilah aku
selama aku berdampingan dengan kamu sekalian. Berpegang teguhlah kepada Kitab
Allah. Oleh karena itu, halalkan apa yang telah dihalalkan-Nya dan haramkan apa
yang telah diharamkan-Nya”.
Khalid bin Ma’dan menerima hadits
tersebut dari Katsir bin Murrah yang diterimanya dari Nu’aim bin Hubbar. Nu’aim
menerima hadits tersebut dari kawan-kawannya yakni Miqdad bin Ma’di Karib, Abi
Ayyub dan Auf bin Malik yang
keempat-empatnya merupakan sahabat semuanya. Faedah mengetahui riwayatul aqran
ini agar jangan dikira bahwa hadits tersebut terdapat kelebihan sanad.
2. Riwayat Mudabbaj
Apabila masing-masing rawi hadits
yang sekawan tersebut saling meriwayatkan maka periwayatan semacam itu disebut “riwayat
al-mudabbaj” . Misalnya Abu Bakar al-Shiddiq pernah meriwayatkan hadits
dari Umar bin Khatab dan Umar bin Khatab pernah meriwayatkan hadits dari Abu
Bakar al-Shiddiq. Riwayat seperti ini kadang-kadang terjadi di antara sahabat
seperti Aisyah dengan Abu Hurairah di mana masing-masing sama meriwayatkan dari
pihak yang lain. Dan kadang-kadang terjadi periwayatan di antara para tabi’in,
seperti periwayatan Atha bin Abi Ribah dari Al-Zuhri dan sebaliknya, Al-Zuhri
meriwayatkan hadits dari Atha. Juga kadang-kadang terjadi periwayatan hadits di
antara para tabi’i al-tabi’in, seperti Malik dan Auza’i saling meriwayatkan
hadits dari periwayatan mereka masing-masing.
Perlu kita ketahui bahwa riwayat
mudabbaj lebih khusus dari riwayat al-aqran, sebab setiap riwayat mudabbaj
sudah termasuk riwayat al-aqran sedangkan tidak setiap riwayat al-aqran
termasuk riwayat mudabbaj. Faedah
mengetahui riwayat mudabbaj tersebut adalah untuk menghindari adanya persangkaan
bahwa penyebutan dua orang rawi yang sekawan tersebut adalah karena silap.
Misalnya jika ada suatu hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dari Aisyah,
jangan disangka bahwa penyebutan Aisyah tersebut karena ada kesilapan dari para
rawinya, padahal yang terjadi tidak demikian. Adapun hukum hadits yang
periwayatannya mudabbaj ini adakalanya shahih dan adakalanya dha’if.
3. Riwayat al-Akabir An al-Shaghair
Yang dimaksud dengan riwayat
al-akabir an al-shaghair ialah periwayatan hadits oleh seorang rawi yang lebih
tua usianya atau lebih banyak ilmunya dari rawi yang lebih rendah usianya atau
lebih sedikit ilmunya yang diperoleh dari seorang guru. Padahal pada
hakekatnya, dalam periwayatan hadits hendaknya orang yang lebih kecillah yang
meriwayatkan dari yang lebih tua baik usia maupun ilmunya. Para ahli hadits mengemukakan dasar adanya riwayat
al-akabir ‘an al-shaghair adalah sabda Rasulullah tentang “Al-Jassasah ( Dajjal
)” yang dalam hadits tersebut nabi memperoleh cerita dari Tamim al-Dari
“Tahukah mengapa kamu sekalian saya kumpulkan ? hanya Allah dan Rasul-Nya lah
yang tahu, sahut mereka. “Demi Allah saya kumpulkan kamu bukan untuk
menggemberikan dan bukan untuk menakut-nakuti, melainkan saya kumpulkan kamu
sekalian karena Tamim al-Dari seorang Nasrani
datang meminta baiat untuk masuk Islam dan menceritakan kepadaku sesuatu
cerita yang persis dengan apa yang saya ceritakan kepdamu tentang al-Masih
al-Dajjal”.
Termasuk dalam pengertian riwayat
al-akabir dari al-shaghair ialah riwayat para sahabat dari para tabi’in dan
riwayat tabi’in dari tabi’i al-tabi’in serta riwayat seorang ayah dari anaknya.
Gambaran riwayat sahabat dari tabi’in seperti periwayatan hadits oleh sahabat
Ibn Abbas atau Abu Hurairah dari seorang tabi’i “Ka’ab al-Akhbar”. Dan gambaran
riwayat tabi’i dari tabi’i tabi’in seperti periwayatan oleh Muhammad bin Syihab
al-Zuhri dari Imam Malik seorang imam madzhab dan ahli hadits dari kelompok
tabi’i tabi’in. Di antara contoh hadits
yang periwayatannya diklasifikasikan dengan riwayat seorang ayah dari anaknya
ialah seperti hadits yang diriwayatkan oleh Musyas dari Atha dari Ibn Abbas bin
Abdul Muthalib dari putranya “Al-Fadl” tentang instruksi Rasulullah kepada
orang-orang lemah dari Bani Hasyim agar meninggalkan dan berkumpul di
Muzdalifah sampai shalat subuh, melainkan agar
terus menuju ke Mina.
Faedah mengetahui riwayat
al-akabir dari al-shaghair adalah untuk menghindari persangkaan bahwa pada
sanad suatu hadits terjadi pemutarbalikan rawi dan untuk menjauhkan persangkaan
kebanyakan orang bahwa sang guru itu tentu lebih pintar dari muridnya. Padahal
tidak tentu demikian. Rasulullah telah memerintahkan agar kita selalu
menempatkan seseorang pada suatu kedudukan yang sesuai dengan keahliannya.
“Rasulullah telah memerintahkan kepada kita agar kita selalu menempatkan
seseorang pada kedudukannya” (Hadits riwayat Abu Daud)